Mengapa Terdapat Kontra Terkait Pemberlakuan Hukum Adat Dalam Rancangan Kuhp?

Mengapa Terdapat Kontra Terkait Pemberlakuan Hukum Adat Dalam Rancangan Kuhp
Hukum Adat dalam RKUHP Belum Jelas dan Undang Ketidakpastian Erma Suryani Ranik, anggota komisi III DPR RI, mengatakan fraksi-fraksi partai pemerintah sangat mendorong Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan pada Agustus tahun 2018 ini sebagai kado kemerdekaan Republik.

  • Ondisi terkini RKUHP saat ini sudah masuk tahap 99% sebagaimana diungkapkan oleh Prof Muladi, salah satu tim perumus RKUHP.
  • Hal ini terungkap dalam acara Konsultasi Nasional Diskusi Panel II yang diadakan oleh Aliansi Nasional reformasi RKUHP yang mengangkat tema: “Reaktualisasi Hukum Adat Dalam Hukum Negara”.

Tema ini diangkat dilandasi oleh beberapa permasalahan yang belum terjawab mengenai pengakomodasian hukum adat ke dalam RKUHP, seperti pertentangan dengan asas legalitas yang dapat berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum, permasalahan nilai-nilai universal vis a vis partikular (dimensi kearifan lokal) dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, ruang lingkup wilayah berlaku yang dibatasi pada wilayah tertentu, penghukuman ganda, serta potensi pelanggengan ketidakadilan gender karena dalam beberapa konteks hukum adat bersifat patriakhi.

Pengakomodasian hukum adat dalam RKUHP sebagaimana tercantum dalam pasal 2, yang berbunyi: Pasal 2 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang undangan. (2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Dalam hal ini, menurut pandangan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, RKUHP justru akan menyebabkan overkriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang sebenarnya tidak diatur dan dilarang dalam perundang-undangan. Ini akan menjadi batu sandungan terhadap asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) yang merupakan perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia, dimana terdapat batasan terhadap penghukuman pada seseorang.

  • Apabila ingin disandingkan, terdapat perbedaan karakter yang mendasar antara hukum pidana dengan hukum adat, dimana hukum pidana melalui asas legalitasnya mengatur bahwa aturan harus tertulis dan cermat sedangkan hukum yang hidup dalam masyarakat umumnya tidak tertulis.
  • Serta, hukum adat tidak melihat apakah suatu perbuatan tersebut diakibatkan oleh faktor kesengajaan atau kelalaian, melainkan melihat pada akibat yang ditimbulkan.

Salah satu narasumber panel II, Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Parahyangan, Dr. Tristam Pascal Moeliono, mengkritik dimasukkannya pasal ini dikarenakan salah satu konsep yang terdapat dalam instrumen-instrumen internasional tentang pengakuan masyarakat adat adalah self-identification dan self-determination,

Dimana masyarakat adat berhak untuk mengidentifikasi sendiri keberadaan komunitas mereka sendiri beserta hak-hak tradisionalnya. Dengan adanya kodifikasi hukum adat ke dalam hukum negara (Peraturan Daerah), pemerintah seolah memiliki kewenangan untuk menentukan mana masyarakat hukum adat yang hukum adatnya boleh hidup, dan mana yang tidak.

Sehingga kodifikasi hukum adat ke dalam hukum negara bertentangan dengan konsep self-identification dari konvensi ILO dan UNDRIP. Prof. Sulistyowati Irianto, Akademisi FH Univeristas Indonesia, juga mengingatkan bahwa hukum adat adalah hukum yang dinamis dan terus berubah.

Arena hukum adat bagian dari kebudayaan masyarakat, sehingga akan berubah tergantung cara berpikir, berpengetahuan, dan cara berhukum masyarakat hukum adatnya. Sehingga kodifikasi hukum adat bertentangan dengan kenyataan bahwa hukum adat bukan hukum yang sekali dibuat kemudian tetap seperti KUHP. Dalam pandangannya, masih terdapat juga hukum adat yang sifatnya diskriminatif terhadap perempuan.

Salah satu contohnya adalah hukum adat di salah satu komunitas adat yang mengharuskan korban pemerkosaan untuk dikawinkan dengan pemerkosanya dalam rangka membersihkan kampung dari ketidakseimbangan. Selain itu, salah satu Pasal di RKUHP yang merugikan masyarakat adat dan perempuan adalah Pasal mengenai Perzinahan.

  1. Masyarakat adat yang menikah bisa dikriminalisasi karena perzinahan karena tidak mencatatkan perkawinannya.
  2. Hal ini dapat didasarkan dari Data Bappenas 2013 dan 2014 yang menyatakan bahwa 40-50 juta masyarakat adat dan penghayat kepercayaan sulit mengakses pencatatan perkawinan.
  3. Sedangkan Erma Suryani Ranik, mempertanyakan siapa yang berwenang mengeksekusi putusan pidana adat? RKUHP belum jelas merumuskan siapa yang berwenang mengeksekusi pidana adat sebagai pidana tambahan yang diatur dalam RKUHP.

Di sisi lain, proses identifikasi dan pengakuan masyarakat hukum adat oleh negara belum selesai. Banyak komunitas-komunitas adat yang sifatnya hierarkis. Rikardo Simarmata, Pengajar FH Universitas Gadjah Mada, selaku narasumber juga memberikan paparan kritis yang cukup mendalam tentang dimasukkannya Hukum Adat ke dalam Hukum Negara.

  1. Diantaranya, karena hukum adat tidak berlaku umum, perlu ditentukan apakah yang dikodifikasi adalah asas-asas hukum adat yang bisa berlaku umum (asas kepatutan dan asas keseimbangan), atau kodifikasi hukum tiap-tiap komunitas adat.
  2. Serta bagaimana cakupan keberlakuan hukum adat, apakah yurisdiksi hukum adat berlaku terhadap orang yang bukan anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Patut diingat dan diperhatikan bahwa masyarakat hukum adat menganut prinsip keberlakuan ekstrateritorial. Perlu diperhatikan juga apakah semangat kodifikasi bisa menjawab sifat hukum adat yang selalu berubah sesuai perkembangan masyarakat pemangkunya.

  1. Selain itu, yang cukup penting juga adalah sejak kemerdekaan Indonesia, istilah adat seringkali disalahgunakan untuk merujuk kepada semua hukum dan lembaga yang bukan negara.
  2. Contohnya, seringkali daerah swapraja seperti Kraton menyebut dirinya sebagai komunitas adat.
  3. Padahal daerah swapraja bukan merupakan masyarakat hukum adat.

Akomodasi hukum adat dalam sistem hukum nasional tidak cukup dengan didasarkan pada semangat (memunculkan ciri khas hukum pidana Indonesia) apalagi jargon (melestarikan budaya bangsa) tetapi perlu didasari oleh data-data etnografi yang memadai. Banyak hukum adat yang belum berbentuk tertulis.

  • Perlu kajian etnografik yang menyeluruh bagi ribuan komunitas adat di Indonesia.
  • Saat ini, semangat mengakomodasi/menghargai hukum adat sama besarnya dengan ketidaktahuan yang bersifat ilmiah mengenai hukum adat.
  • Atas dasar pemahaman diatas, maka Aliansi Nasional Reformasi KUHP merekomendasikan untuk menunda pengesahan RKUHP dikarenakan masih terdapat banyak masalah, salah satunya dimasukkannya hukum adat ke dalam RKUHP.
You might be interested:  Mengapa Kita Memerlukan Model Dalam Pembuatan Rancangan Perangkat Lunak?

Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai bahwa sebaiknya ketentuan mengenai hukum adat tersebut ditinjau ulang secara mendalam sebagai pengecualian asas legalitas dalam RKUHP, mengingat tidak adanya pemahaman dan kajian ilmiah berbasis etnografik mengenai hukum adat mana saja yang dapat dikategorikan sebagai hukum adat.

Apakah tindak pidana adat dapat menjadi sumber hukum dari KUHP yang baru?

Pidana Adat Diakui di RUU KUHP! Jakarta – KUHP saat ini tidak mengenal hukum pidana adat, meski di banyak tempat masih hidup Nah, dalam draft, hukum pidana adat diakui sebagai salah satu sumber hukum negara sehingga bisa menjadi sumber hukum positif.

  1. Pengakuan itu tertulis tegas dalam Pasal 2 RUU KUHP.
  2. Berikut bunyi Pasal 2 RUU KUHP yang dikutip detikcom, Minggu (6/6/2021): (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

ADVERTISEMENT SCROLL TO RESUME CONTENT “Dalam Undang-Undang ini diakui pula adanya Tindak Pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai Tindak Pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat,” demikian bunyi Penjelasan RUU KUHP.

Dalam kenyataannya di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh pelaku Tindak Pidana.

Hal tersebut mengandung arti bahwa standar nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi agar memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti itu tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Undang-Undang ini,” ujarnya.

Sanksi adat bisa dijatuhkan dan masuk kategori Pidana Tambahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat 1 huruf f. Pelaku kejahatan korporasi juga bisa dikenakan pidana pemenuhan kewajiban Adat tersebut.

“Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan Tindak Pidana dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 2 ayat (2),” demikian bunyi Pasal 97.Oleh sebab itu, delik pidana adat ditegaskan dalam Pasal 597 yang berbunyi: (1) Setiap Orang, yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana (2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f. Dalam penjelasan RUU KUHP, perlu dibuat kompilasi Perda tentang agar bisa menjadi rujukan.

“Untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana (delik adat), perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum adat. Kompilasi ini memuat mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat yang dikualifikasi sebagai Tindak Pidana adat,” tuturnya.

Apakah hukum adat bertentangan dengan UU?

BandungBergerak.id – Indonesia adalah negara yang kaya akan suku bangsa. Tak dapat dipungkiri bahwa negeri ini pun memiliki beragam adat istiadat atau hukum adat. Setiap adat istiadat tersebut merupakan warisan nenek moyang, sehingga menjadi suatu kewajiban bagi suku bangsa untuk melestarikan dan menjunjung tinggi.

  1. Oleh sebab itu, setiap adat istiadat maupun hukum adat di Indonesia terus diterapkan, dihormati, dan terus dijunjung tinggi hingga saat ini.
  2. Namun, seiring perkembangan zaman, manusia modern mulai menyadari bahwa ada tradisi adat yang sesungguhnya melanggar hak asasi manusia (HAM).
  3. Banyak penerapan tradisi adat yang menyerang fisik dan mental, bahkan hingga merenggut nyawa.

Sebagai contoh, suku Dani di Papua mempunyai suatu tradisi niki paleg yaitu tradisi bahwa setiap perempuan harus memotong jari menggunakan kapak sebagai lambang kesedihan dan duka cita atas kematian orang terdekat. Selain itu, terdapat tradisi saling tikam Sigajang Laleng Lipa di Sulawesi Selatan, yang merupakan tradisi untuk penyelesaian masalah oleh kedua belah pihak dengan saling tikam menggunakan badik atau pisau dalam satu sarung hingga terdapat kekalahan.

Kekalahan tersebut umumnya adalah kematian dari salah satu pihak yang berseteru. Contoh-contoh tersebut hanyalah sebagian kecil dari tradisi adat yang melanggar hak asasi manusia. Padahal, Indonesia sendiri mengaku sebagai negara yang menjunjung HAM maupun akibat hukum bagi setiap pelanggar Hak Asasi Manusia.

Sehingga sudah sepantasnya menjadi pertanyaan, apakah Hukum Indonesia tidak berlaku bagi masyarakat adat? Apakah tradisi adat lebih tinggi daripada Hukum Indonesia? Penghormatan hukum adat tidak dapat mengecualikan penerapan hukum Indonesia, perlu penekanan eksistensi hukum terhadap tradisi adat yang melanggar Hak Asasi Manusia.

Tradisi Adat yang Melanggar Hak Asasi Manusia Tidak dapat dipungkiri kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dalam ruang lingkup masyarakat adat terus meningkat. Bahkan melalui media sosial, masyarakat modern dapat menyaksikan banyak unggahan pelanggaran HAM akibat tradisi adat. Salah satunya, kasus tradisi adat yang melanggar HAM yang sempat viral pada tahun 2020.

Kasus tersebut berawal dengan sebuah unggahan yang menampilkan tradisi perempuan dibawa dan diculik oleh sekelompok laki-laki untuk melangsungkan perkawinan. Tradisi tersebut dikenal masyarakat sumba sebagai kawin tangkap. Kasus kawin tangkap tidak hanya terjadi pada 2020, melainkan sudah terdapat tujuh kasus sepanjang tahun 2016 sampai tahun 2020.

You might be interested:  Bagaimana Cara Gerakan Lengan Saat Melakukan Gaya Dada?

Padahal dalam kasus-kasus yang terjadi, kawin tangkap tidak hanya melukai korban secara fisik, namun juga melukai psikis. Perkawinan yang seharusnya dilandasi oleh kebahagian, namun harus didorong atas paksaan yang mengatasnamakan tradisi. Namun, para korban juga mengakui jika mereka telah terperangkap dalam stigma bahwa mereka akan dianggap sebagai aib keluarga jika mereka kabur dalam tradisi kawin tangkap,

Para korban kawin tangkap juga mengakui bahwa mereka takut untuk melarikan diri karena para pelaku dilengkapi oleh senjata tajam Di samping itu, terdapat kasus pernikahan dini di beberapa daerah yang semakin marak terjadi. Penyebab utama kasus pernikahan dini adalah penerapan tradisi kawin muda dalam beberapa daerah, salah satunya adalah di daerah Jawa Tengah.

Asus ini terjadi ketika seorang anak perempuan berusia 11 tahun dijodohkan dan dinikahkan oleh kedua orang tuanya. Anak tersebut mengakui bahwa ia tidak dapat menolak perjodohan karena kuatnya tradisi adat yang sudah turun menurun diberlakukan. Adat daerah setempat mengajarkan bahwa “kalau punya anak perempuan sudah ada yang melamar, harus diterima, kalau tidak diterima bisa sulit jodohnya”.

Adat tersebut membuat banyak anak daerah setempat menikah dalam usia belasan. Tidak hanya di daerah Jawa Tengah, kasus pernikahan dini yang diakibatkan adat istiadat sudah dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Padahal perkawinan anak dalam usia dini adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia, karena anak usia dini secara fisik maupun psikis belum siap untuk melangsungkan sebuah pernikahan.

Asus kawin tangkap dan kasus pernikahan dini merupakan sebagian kecil dari banyak kasus pelanggaran asasi manusia akibat tradisi adat. Pemberlakuan Hukum dan Tradisi Adat Sebagai pelanggaran HAM, tentunya tradisi adat tersebut juga sudah tergolong sebagai pelanggaran hukum. Dalam sistematika hukum, pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh tradisi adat tergolong sebagai tindak pidana dan pelanggaran undang-undang.

Hal ini dapat dibuktikan dalam pasal 2 dan pasal 4 Undang-Undang No 39 Tahun 1999, Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Selain pasal-pasal tersebut, terdapat pasal lain yang menekankan tentang pelanggaran HAM. Setiap pasal berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk tradisi adat maupun masyarakat adat.

  1. Pemberlakuan pasal tersebut dilengkapi dengan sanksi pidana.
  2. Sanksi pidana ditentukan berdasarkan penilaian terkait pelanggaran tersebut termasuk pelanggaran HAM berat atau ringan.
  3. Dalam pasal 37-40 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 jo pasal 9 undang-undang Nomor 26 tahun 2000, mencantumkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dapat diancam penjara hingga pidana mati.

Ancaman tersebut juga berlaku bagi setiap pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang mengatasnamakan tradisi adat. Namun pada praktiknya, pasal-pasal tersebut kerap hanya menjadi aturan semata. Sebab banyak aparat hukum yang memilih untuk tidak menindaklanjuti kasus tradisi adat yang melanggar hak asasi manusia.

Aparat penegak hukum kerap merasa kesulitan jika harus berhadapan dengan tokoh-tokoh adat dengan tradisi yang sudah mendarah daging dalam lingkup masyarakat adat tersebut. Sehingga pada akhirnya, para pelaku tidak mendapat sanksi yang sepadan dengan perbuatannya, dan sebaliknya kasus-kasus baru terus bermunculan.

Padahal di sisi lain, masyarakat adat terutama para korban membutuhkan perlindungan dan kepastian hukum. Untuk itu, diperlukan pembaharuan untuk menjamin eksistensi hukum terhadap tradisi adat yang melanggar HAM. Baca Juga: Terancamnya Nasib Hak Ulayat Masyarakat Adat Indonesia Otonomi Masyarakat Adat sudah Ada Jauh sebelum Republik Indonesia Berdiri Ritual Adat Sunda di Kaki Gunung Tangkuban Parahu Pembaharuan terhadap Tradisi Adat yang Melanggar HAM Dengan undang-undang yang sudah ada dan mengatur, pembaharuan dapat dilakukan dengan kerjasama antara negara, Komnas HAM, warga negara Indonesia, dan masyarakat adat setempat.

Pertama, negara dapat membantu aparat penegak mengatasi kesulitan dalam menindaklanjuti kasus tradisi adat yang belum terselesaikan, para pelaku harus mendapat sanksi berdasarkan undang-undang. Dalam hal ini, negara dapat meningkatkan jumlah aparat negara di berbagai daerah dan memfasilitasi pengadilan HAM di daerah-daerah untuk mengatasi kasus pelanggaran HAM akibat tradisi adat tersebut.

Selanjutnya, negara dapat memberikan pemahaman mendasar terhadap masyarakat adat terutama tokoh-tokoh adat bahwa tradisi adat yang diterapkan adalah pelanggaran kemanusiaan. Dengan kata lain negara dapat membimbing masyarakat adat untuk menyaring atau menghentikan tradisi adat yang melanggar HAM tanpa meniadakan atau mengganggu tradisi lainnya yang sudah sesuai dan layak.

  1. Edua, Komnas HAM dapat membantu pembaharuan dengan memberikan media dan penyuluhan terhadap para korban atau masyarakat adat bahwa hak asasi mereka dijamin oleh undang-undang, dan tradisi adat tidak dapat merampas hak asasi manusia.
  2. Etiga, Warga Indonesia terutama terutama yang berada di luar ruang lingkup adat dapat membantu dengan memberikan bantuan kemanusiaan bagi para korban serta mendukung aparat penegak dengan melaporkan apabila menemukan tradisi adat yang melanggar HAM.
You might be interested:  Bagaimana Cara Melakukan Tendangan Dengan Punggung Kaki?

Selanjutnya, masyarakat adat dapat menunjang dengan melaporkan segala bentuk pelanggaran HAM, dengan kata lain jika masyarakat adat mengalami atau melihat harus segera melapor kepada aparat penegak untuk membantu mengatasinya. Masyarakat adat harus mulai menyadari bahwa tradisi memang harus dihormati, namun bukan berarti tradisi dapat meniadakan nilai kemanusiaan.

Dengan adanya kerjasama dan pembaharuan, eksistensi hukum terhadap tradisi adat dapat mulai terlihat. Sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM dan menghormati tradisi adat, membuat kedua hal tersebut harus berjalan beriringan. Dengan kata lain, penghormatan terhadap tradisi adat tidak dapat mengecualikan penegakan HAM.

Eksistensi hukum terhadap tradisi yang melanggar HAM harus selalu ditegakan dan ditekankan. Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia yang sudah ada dan mengatur, harus diberlakukan terhadap setiap pelanggar termasuk yang disebabkan oleh tradisi adat. Bukanlah suatu hal yang mudah dalam mengatasi kasus pelanggaran HAM akibat tradisi adat maupun melakukan penegakan hak asasi manusia dalam lingkup masyarakat adat, oleh sebab itu diperlukan kerja sama antara negara, Komnas HAM, warga negara Indonesia, dan masyarakat adat setempat.

Mengapa perlu dilakukan pembaharuan KUHP?

Alasan dilakukan pembaruan KUHP antara lain alasan filosofis, KUHP lama tidak sesuai filosofi bangsa Indonesia, alasan politis, sebagai negara merdeka Indonesia harus memiliki KUHP Nasional, banyak ketentuan yang out of date, terdapat pergeseran dari asas legalitas materiil pasal 1 (3) rancangan KUHP sebagai berikut: “Ketentuan sebagaimana pasal 1 (1), tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyaraket yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tsb tidak diatur dalam per UU”.

Berikut pemaparan Prof Masruchin Rubai, SH., MS., dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan dalam rangkaian acara Brawijaya Law Fair, Jumat, 18 November 2016. Seminar ini bertema ” Menyikapi Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia “. Dalam seminar tersebut juga hadir perwakilan dari Institute for Criminal Justice Reform, Anggara, SH sebagai narasumber, dan Alfons Zakaria, SH., LLM.

sebagai moderator. Dalam seminar tersebut dijelaskan, bahwa formulasi baru tindak pidana dalam KUHP baru terdiri dari: tindak pidana yang sejak mula tidak ada dalam KUHP lama; tindak pidana yang berasal dari uu di luar KUHP; reformulasi atas tindak pidana yang sudah ada dalam KUHP lama.

Bagaimana kedudukan tindak pidana adat dalam sistem hukum pidana?

Abstract – Penulisan skripsi ini penulis membahas mengenai masalah kedudukan dan kontribusi hukum pidana adat dalam kebijakan hukum pidana Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi hukum pidana Indonesia yang diatur dalam KUHP adalah peninggalan dari hukum pidana Belanda ( Wetboek Van Strafrecht ) pada masa penjajahan yang dengan asas konkordansi,maka sampai sekarang menjadi hukum pidana Indonesia, sehingga aturan dalam KUHP itu sendiri kurang berakar dan pada nilai-nilai budaya dan terdapat pertentangan dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini, sehingga diperlukan adanya pembaharuan terhadap peraturan hukum pidana Indonesia itu sendiri.

Upaya untuk mengetahui kedudukan dan kontribusi hukum pidana adat dalam kebijakan hukum pidana Indonesia, maka jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan penelitian yang digunakan conceptual approach, kemudian seluruh bahan hukum yang ada dianalisis menggunakan metode interpretasi perbandingan.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada, bahwa kedudukan hukum pidana adat dalam kebijakan hukum pidana Indonesia adalah sebagai sumber hukum dikarenakan kearifan lokal itu seiring dengan hukum nasional (hukum positif), sehingga letak hukum pidana adat dalam pembentukan hukum pidana nasional adalah sebagai sumber untuk hukum nasional, selain sebagai sumber hukum materiil, juga sebagai sumber asas legalitas materiil sebagaimana tertuang dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) RKUHP, sumber asas legalitas materiil tersebut sebagai penyeimbang asas legalitas formal yang diatur dalam pasal 1 ayat (1) RKUHP.

  1. Ontribusi hukum pidana adat dalam kebijakan hukum pidana Indonesia adalah bahwa terdapat beberapa jenis pidana yang terdapat dalam RKUHP yang berdasarkan pada hukum pidana adat, yakni salah satunya ialah pidana kerja sosial dan pemenuhan kewajiban adat.
  2. Menyikapi fakta-fakta tersebut diatas, maka perlu kiranya keberadaan hukum pidana adat sebagai hukum yang hidup dimasyarakat untuk dipahami kembali karena eksistensinya memang sudah diakui dalam beberapa peraturan perundang-undangan yakni diantaranya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 (LN 1951 Nomor 9) Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, serta beberapa Putusan Pengadilan.

Eksistensi hukum pidana adat juga telah diakui dalam RKUHP, serta bagi penegak hukum khususnya hakim, dengan diakuinya eksistensi hukum pidana adat dalam RKUHP, maka hakim harus lebih dapat memahami dan enggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Item Type: Thesis (Sarjana)
Identification Number: SKR/FH/2011/322/051105330
Subjects: 300 Social sciences > 340 Law
Divisions: Fakultas Hukum > Ilmu Hukum
Depositing User: Endang Susworini
Date Deposited: 30 Mar 2012 11:31
Last Modified: 30 Mar 2022 03:51
URI: http://repository.ub.ac.id/id/eprint/111085