Lembaga Negara Yang Berwenang Membahas Rancangan Undang-Undang Adalah?

Lembaga Negara Yang Berwenang Membahas Rancangan Undang-Undang Adalah
Tentang DPR – Terkait dengan fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan wewenang:

Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah) Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD Menetapkan UU bersama dengan Presiden Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU

Terkait dengan fungsi anggaran, DPR memiliki tugas dan wewenang:

Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden) Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara maupun terhadap perjanjian yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara

Terkait dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang:

Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD (terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama)

Tugas dan wewenang DPR lainnya, antara lain:

Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk: (1) menyatakan perang ataupun membuat perdamaian dengan Negara lain; (2) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal: (1) pemberian amnesti dan abolisi; (2) mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar lain Memilih Anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD Memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial terkait calon hakim agung yang akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh Presiden Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk selanjutnya diajukan ke Presiden

: Situs Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia – DPR RI

Siapa yang berwenang mengajukan rancangan undang-undang?

Tentang DPR –

DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. Rancangan undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh Anggota, komisi, atau gabungan komisi. Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Presiden. Rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh DPD, dalam hal berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dan disertai dengan naskah akademis, kecuali rancangan undang-undang mengenai:

a. APBN; b. penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang; atau c. pencabutan undang-undang atau pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2) disusun berdasarkan Prolegnas. Dalam keadaan tertentu, hanya DPR dan Presiden yang dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Prolegnas. Rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama antara DPR dan Presiden paling lambat 7 (tujuh) Hari disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Untuk proses secara lengkap dapat dilihat di Tata tertib DPR RI BAB VI : Situs Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia – DPR RI

Apa nama lembaga yang berwenang membentuk undang-undang?

Fungsi lembaga legeslatif dalam pembangunan bangsa – Admin dprd | 29 Agustus 2018 | 533759 kali Lembaga Legislatif – Terdapat tiga lembaga utama di Indonesia yakni, Lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif yang mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam artikel kali ini kita akan membahas apa itu definisi pengertian dari lembaga- lembaga negara tersebut beserta dengan tugas dan juga penjelasan lainnya.

  1. Semoga bermanfaat.
  2. Pengertian Lembaga Legislatif Lembaga legislatif merupakan lembaga atau dewan yang mempunyai tugas serta wewenang membuat atau merumuskan UUD yang ada di sebuah negera.
  3. Selain itu, lembaga legislatif juga diartikan sebagai lembaga legislator, yang mana jika di negara Indonesia lembaga ini dijalankan oleh DPD (Dewan Perwakilan Daerah) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat, dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Contoh Lembaga Legislatif Di Negara Indonesia, lembaga legislatif adalah DPR, DPD, dan MPR. DPR atau Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu lembaga legislatif yang memiliki keduduan sebagai lembaga negara. Adapun anggota DPR yaitu mereka yang berasal dari anggota partai politik yang mencalonkan diri sebagai peserta pemilu yang sudah terpilih saat pemilu.

DPR berkedudukan di pusat, dan yang di tingkat provinsi disebut dengan DPRD Provinsi dan untuk yang berada di tingkat kota/kabupaten disebut dengan DPRD kabupaten/kota. Anggota DPR dipilih secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan 5 tahun. DPD atau Dewan Perwakilan Daerah adalah salah satu lembaga legislatif perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara, anggota DPD berasal dari perwakilan setiap provinsi yang ada di negara yang sudah terpilih di pemilu.

Adapun jumlah anggotanya tidak sama untuk setiap provinsi, namun sudah ditetapkan paling banyak 4 orang. Sementara masa jabat DPD adalah sama seperti DPR yaitu 5 tahun. MPR atau Majelis Permusyawarakatan Rakyat Adalah lembaga legislatif yang terdiri dari anggota DPR dan DPD yang sudah terpilih dalam pemilu.

Tugas DPD

DPD atau Dewan Perwakilan Daerah memiliki beberapa tugas, diantaranya: Mengajukan rancangan UUD yang memiliki kaitan dengan otonomi daerah serta bertugas dalam mengawasi pelaksanaanya. Memberi pertimbangan kepada kepala negara yaitu Presiden terkait RUU APBN. Memeriksa hasil keuangan negara dari pihak BPK. Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam memilih BPK.

Tugas DPR

DPR atau Dewan Perwakilan Rakyat, memiliki beberapa tugas, diantaranya: Bertugas memegang kekuasaan dalam hal pembentukan UUD. Bertugas memberi persetujuan kepada kepala negara yaitu Presiden terkait dengan peraturan pemerintah yang sudah ditetepkan oleh Presiden sebelumnya sebagai ganti dari UU.

Sebagai pemberi persetujuan kepada kepala negara, untuk menyatakan perang, berdamai, dan menyatakan persetujuan untuk pembuatan perjanjian dengan negara lain. Sebagai pemberi pertimbangan kepada Presiden tentang pengangkatan duta serta penempatan duta negara lain, bertugas memberi amnesti serta abolisi, rancangan UU APBN.

Memberi hasil pemeriksaan keuangan negara dari pihak BPK. Memilih langsung anggota BPK. Memberikan ppersetujuan kepada calon Hakim Agung yang sudah diluluskan oleh Komisi Yuridis. Bertugas memberi persetujuan kepada Presiden tentang pengangkatan dan juga persetujuan tentang pemberhentian anggota yudisial.

Tugas MPR

MPR juga mempunyai tugas, seperti DPD dan DPR. Adapun tugas MPR, sesuai dengan UU pasal 3 ayat 1, yaitu: Mengubah serta menetapkan UUD Bertugas sebagai pelantik Presiden dan Wakil Presiden. Bertugas dalam hal memberhentikan Presiden dan wakilnya pada masa jabatannya sesuai dengan UUD.

Selain tugas, MPR juga mempunyai Hak, yaitu Memberi usul perubahan paasal UUD, Dapat menentukan sikap serta pilihan dalam pengambilan keputusan, Berhak memilih dan dipilih Berhak membela diri Hak Imunitas Protokoler Keuangan dan administrasi Inilah sekilas tentang lembaga legislatif, mulai dari pengertiannya, tugas dan contohnya.

Pengertian Lembaga Yudikatif Lembaga yudikatif adalah lembaga negara yang tugas utamanya sebagai pengawal, pengawas, dan pemantau proses berjalannya UUD, dan juga pengawasan hukum di sebuah negara. Di Indonesia, fungsi lembaga legislatif ini dijalankan oleh MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), yang mana keduanya memiliki peran sebagai pengawas dan pemantau berjalannya UUD dan hukum yang ada di Indonesia.

Contoh Lembaga Yudikatif Mahkamah Agung (MA) Adalah salah satu lembaga yudkatif yang memiliki kekuasaan kehakiman, kekuasaan ini adalah kekusaan yang menyelenggarakan peradilan guna penegakkan hukum yang adil. Mahkamah Konstitusi (MK) Adalah lembaga yudikatif yang memiliki wewenang sebagai pengadilan pada tingkat pertama dan terakhir, yang mana keputusannya bersifat final untuk menguji UU.

Komisi Yudisial (KY) Adalah lembaga negara yang memiliki tugas dan wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjaga juga menegakan keluhuran kehormatan martabat dan perilaku hakim. Tugas Lembaga Yudikatif Lembaga yudikatif, memiliki tugas, sebagai berikut:

Tugas Mahkamah Agung

Mengadili dan menguji peraturan perundang-undangan. Bertugas sebagai pemberi pertimbangan kepada Presiden tentang pemberian grasi dan juga rehabilitas Bertugas mengajukan 3 orang anggota hakim konstitusi

Tugas Mahkamah Konstitusi

Mengadili pada tingkat pertama sampai akhir putusan yang bersifat final untuk menguji UU. Bertugas memutuskan persengketaan Bertugas memutuskan pembubaran partai politik Bertugas memutuskan perselisihan dan persengketaan terkait hasli pemilu Memiliki kewajiban memberi keputusan tentang pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden dan wakilnya sesuai dengan UU Bertugas menerima usulan pemberhentian presiden dan wakilnya dari DPR untuk segera ditindak lanjuti.

Tugas Komisi Yudisial

Bertugas mengusulkan pengangkatan Hakim Agung Bertugas menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat dan juga perlaku Hakim Pengertian Lembaga Eksekutif lembaga eksekutif adalah presiden dan wakil presiden dan beserta dengan menteri-menterinya yang turut membantunya dalam menjalankan tugasnya di sebuah negara.

Presiden merupakan lembaga negara yang memiliki kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan yang menjalankan roda pemerintahan. Di negara Indonesia, presiden memiliki kedudukan sebagai kepala pemerintahan serta sebagai kepala negara. Presiden dan wakilnya menduduki jabatan maksimal 5 tahun, namun masih dapat mencalonkan diri kembali untuk satu masa lagi.

Contoh Lembaga Eksekutif Presiden dan Wakil Presiden, Menteri Inilah sekilas tentang lembaga eksekutif, tugas dan contohnya, semoga bermanfaat. Tugas Lembaga Eksekutif Presiden, memiliki tugas dan wewenang, yaitu sesuai dengan UUD 1945, diantaranya: Bertugas membuat perjanjian dengan beberapa negara lain dengan syarat adanya persetujuan dari DPR Bertugas mengangkat duta dan konsul, yang mana duta merupakan wakil dari sebuah negara yang ditempatkan di negara lain sebagai wakil yang memiliki tugas di kedutaaan besar.

Sementara itu, konsul merupakan sebuah lembaga yang mewakili sebuah negara di kota tertentu dalam pengawasan kedutaan. Bertugas menerima duta dari negara lain untuk menjadi duta negara lain di negara sendiri Memberi gelar, tanda jasa serta kehormatan kepada warganegaranya atau warga negara asing yang telah berjasa mengharumkan nama bangsa.”Anggota DPR yang melaksanakan tugasnya dengan benar pada saat menggunakan haknya, hak imunitasnya, nanti dituduh oleh publik: Anda tidak betul, Anda salah, Anda mengeksploitasi hak-hak yang diberikan pada Anda, untuk kebutuhan perorangan saja, padahal bukan itu tujuannya,” tambah Jhonny.

Sidang pengesahan revisi UU MD3 itu diwarnai oleh walkout-nya Partai Nasdem. Meski begitu, pengesahan UU MD3 ini pakar hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, menyebut UU itu merupakan kriminalisasi terhadap rakyat yang kritis terhadap DPR, walaupun penegakan hukum tetap dilakukan oleh polisi.

Apakah DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang?

Selasa, 04 November 2014 | 18:23 WIB Ketua DPD Irman Gusman selaku Pemohon Prinsipal beserta Anggota DPD, I Wayan Sudirta didampingi kuasa hukumnya Todung Mulia Lubis, saling memberikan selamat seusai sidang mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan Pemohon Pengujian UU MD3, Selasa (4/11) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.

Foto Humas/Ganie. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang mengajukan Pengujian Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) kembali menghadirkan dua orang ahli pada sidang pembuktian, Selasa (4/11) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Dua orang ahli yang dihadirkan DPD selaku Pemohon Perkara No.79/PUU-XII/2014, yaitu Ni’matul Huda selaku Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) dan Dian Puji Simatupang selaku pakar hukum administrasi negara dari Universitas Indonesia (UI).

Keduanya sepakat mengatakan kewenangan konstitusional DPD tidak bisa dikurangi. Ni’matul Huda pada prinsipnya sepakat mengatakan bahwa Pasal 22D telah memberikan kewenangan kepada DPD untuk mengajukan rancangan undang-undang. Meski dibatasi, DPD berwenang mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pembentukkan, pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Selain berwenang mengajukan rancangan undang-undang dimaksud, Ni’matul juga mengatakan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 menyatakan DPD juga berhak ikut membahas rancangan undang-undang dimaksud, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Lewat Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 tertanggal 27 Maret 2013, lanjut Ni’matul, Mahkamah bahkan telah membatakan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 yang mereduksi kewenangan DPD. Ni’matul sendiri memang setuju bila UU No.27 Tahun 2009 tersebut dibatalkan oleh MK.

Sebab, DPD sebagai lembaga dengan anggaran biaya negara yang cukup besar mengalami ketidakseimbangan kewenangan yang diberikan menurut UU tersebut. Bila dikaitkan dengan perspektif otonomi daerah, Ni’matul mengatakan kedudukan, tugas dan wewenang DPRD diperkuat dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah provinsi kabupaten/kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Untuk itu pengaturan DPRD di dalam Undang-Undang MD3 menjadi sangat penting untuk dikaji dan dibahas bersama-sama antara DPR, DPD, dan presiden. Dengan kata lain, DPD harus dilibatkan, terutama dalam kaitannya dengan dengan pengaturan kedudukan tugas wewenang hak dan kewajiban, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.

“Dengan demikian pengabaian terhadap amanat Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta pengabaian terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 patut dipandang sebagai pelanggaran konstitusi,” tegas Ni’matul. Senada dengan Ni’matul, Dian Puji Simatupang mengatakan bahwa dari sudut hukum administrasi negara, ketentuan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945 berwenang membahas rancangan undang-undang dan memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak pendidikan dan agama.

Wewenang tersebut menurut Dian adalah kewenangan konstitusional DPD yang tidak dapat diubah atau dilakukan penafsiran lain. Terlebih, ketentuan tersebut telah diperkuat oleh Putusan MK No.92/PUU-X/2012. Menurut Dian, DPR dan DPD dibangun dengan sistem perwakilan untuk mencapai satu tujuan negara atau satu tujuan bernegara.

  1. Sehingga, sebagai suatu sistem, DPD dan DPR merupakan sistem yang bulat dan utuh yang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang secara seimbang.
  2. Dengan demikian, keduanya (DPR dan DPD) tentu tidak dapat saling menafikan atau menegasikan di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan konstitusi,” jelas Dian.

Selain itu, Dian mengatakan DPD sebagai salah satu lembaga negara merupakan sub sistem dari sistem kelembagaan negara yang tidak dapat tugas pokok fungsi dan wewenangnya dimajinalkan atas dasar atau atas alasan politik apapun. Marjinalisasi tugas pokok, fungsi, dan wewenang DPD berarti memarjinalisasi sistem kelembagaan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Bersama siapakah lembaga DPR membuat rancangan undang-undang?

Detail Rancangan Undang-Undang (Rencana Penyusunan RUU) Lembaga Negara Yang Berwenang Membahas Rancangan Undang-Undang Adalah Lembaga Negara Yang Berwenang Membahas Rancangan Undang-Undang Adalah RUU tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD & DPRD Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) mengamanatkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

  1. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan maka perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah.
  2. Amandemen terhadap UUD NRI 1945 telah mengakibatkan banyak perubahan pada desain sistem ketatanegaran Indonesia, termasuk pengaturan mengenai lembaga permusyawaratan/perwakilan tersebut.

UUD NRI 1945 hasil amandemen telah merubah kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang semula merupakan lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara. Adapun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan UUD NRI 1945 memiliki peran besar dengan tiga fungsi utama.

  1. Fungsi tersebut adalah sebagai lembaga pembentuk undang-undang, pelaksana pengawasan terhadap pemerintah dan fungsi anggaran.
  2. Selain itu, amandemen UUD NRI 1945 juga mengamanatkan kehadiran lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945.

Meskipun kedudukan MPR saat ini merupakan lembaga negara, namun tidak dapat dikesampingkan kewenangan MPR untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden serta memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden untuk keadaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam UUD NRI 1945.

  1. Hal ini berimplikasi perlu ditegaskannya kedudukan MPR dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  2. Sehubungan dengan hal itu, untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945, perlu menata Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Penataan dimaksud bisa menyangkut kelembagaannya dan bisa juga menyangkut mekanisme pelaksanaan fungsi dan kewenangannya. Dengan demikian, MPR sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945 akan dapat menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya secara efisien, efektif, transparan, optimal, dan aspiratif.

Adapun terkait dengan kelembagaan DPR, dalam menjalankan tugasnya DPR mempunyai tiga fungsi sesuai dengan Pasal 20A ayat 1 UUD NRI 1945, yaitu: 1. fungsi legislasi, yaitu DPR mempunyai wewenang untuk membuat Undang-Undang bersama-sama dengan Presiden. Usulan Rancangan Undang-Undang dapat diajukan oleh Presiden, dapat pula berdasarkan hak inisiatif DPR; 2.

fungsi anggaran, yaitu kewenangan DPR untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan oleh pemerintah (Presiden); dan 3. fungsi pengawasan, yaitu DPR mempunyai fungsi untuk menjalankan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan pemerintahan.

Pengawasan DPR terhadap pemerintah dapat berupa pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang, APBN, dan kebijakan pemerintah lainnya berdasarkan UUD NRI 1945. Saat ini DPR dituntut untuk mampu bertransformasi menjadi parlemen modern. Membangun DPR RI sebagai parlemen modern pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan publik dan legitimasi DPR.

Dalam konsep parlemen modern, DPR memang harus dapat memastikan informasi parlemen dapat disebarkan secara proaktif serta memungkinkannya dibangun sebuah mekanisme yang meningkatkan partisipasi publik, baik dalam pengawasan maupun dalam peningkatan partisipasi publik pada kerja parlemen.

  1. DPR juga harus membangun mekanisme transparansi dan partisipasi publik yang mumpuni sehingga dapat diakses secara mudah dan merata oleh seluruh rakyat Indonesia.
  2. Melalui konsep parlemen modern, DPR menjadi parlemen yang bukan lagi lembaga negara yang statis.
  3. Parlemen berubah mengikuti perubahan yang terjadi “di dalam dan di luar” parlemen.
You might be interested:  Bagaimana Posisi Akhir Pada Saat Kita Melakukan Gerakan Squat Jump?

Untuk membangun DPR sebagai parlemen modern maka DPR perlu untuk terus-menerus memberikan informasi yang langsung, akurat dan terpercaya. DPR juga perlu untuk membuka ruang untuk partisipasi publik baik secara langsung maupun virtual sehingga diharapkan dapat meningkatkan dukungan terhadap kerja-kerja yang berkaitan dengan tugas dan fungsi para anggota legislatif di lembaga DPR.

  1. Dalam upaya untuk membangun kelembagaan DPR, saat ini DPR masih dihadapkan dengan beberapa permasalahan di antaranya: 1.
  2. Mekanisme dan tata cara pemilihan Pimpinan DPR; 2.
  3. Kedudukan Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) sebagai Alat Kelengkapan DPR (AKD), keanggotaan MKD, dan tata cara persidangan MKD sebagai pengadilan etik; 3.

penyederhanaan fraksi-fraksi di DPR; 4. masih belum jelasnya pengaturan mengenai objek hak angket DPR dan pemanggilan paksa non-pro justitia; 5. syarat dan pembatasan terhadap proses pemberhentian antar waktu Anggota DPR; 6. pelaksanaan hak-hak Anggota DPR, khususnya hak imunitas dan hak pengawasan; dan 7.

  • Pengelolaan anggaran DPR secara khusus dan akses terhadap data APBN.
  • Adapun mengenai kelembagaan DPD, pembentukan DPD merupakan upaya konstitusional yang bertujuan agar dapat lebih mengakomodasi suara daerah dengan memberi saluran, sekaligus peran kepada daerah-daerah.
  • Saluran dan peran tersebut dilakukan dengan memberikan tempat bagi daerah untuk menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan tingkat nasional untuk memperjuangkan dan menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya.

Dengan terbentuknya DPD, diharapkan kepentingan-kepentingan daerah dapat terakomodasi. Namun, dalam upaya mencapai tujuan tersebut DPD masih menghadapi kendala-kendala yang perlu disempurnakan dalam perubahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, dan DPD. Kendala tersebut di antaranya: 1.

masih belum optimalnya fungsi legislasi DPD sebagaimana amanat Pasal 22D UUD NRI 1945 dan ketentuan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014; 2. pengaturan terkait tugas DPD melakukan pemantauan dan evaluasi atas Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah; 3.

keikutsertaan Anggota DPD yang menjadi anggota partai politik; 4. mekanisme pemilihan dan masa jabatan Pimpinan DPD; 5. rangkap jabatan pimpinan di lembaga perwakilan; dan 6. pengaturan terkait dengan hak Anggota DPD. Untuk mewujudkan lembaga perwakilan daerah sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945 maka dianggap perlu untuk menata Dewan Perwakilan Daerah.

Penataan dimaksud bisa menyangkut kelembagaannya (misalnya alat kelengkapan) dan bisa juga menyangkut mekanisme pelaksanaan fungsi dan kewenangannya. Dengan demikian, DPD sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945 akan dapat menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya secara efisien, efektif, transparan, optimal, dan aspiratif.

Sehubungan dengan hal tersebut, DPR RI berencana melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), dengan menugaskan Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun konsep Naskah Akademik (NA) dan Rancangan Undang-Undang (RUU).

  • Egiatan penyusunan konsep NA dan draf RUU tersebut memerlukan data dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan terkait agar konsep NA dan draf RUU yang disusun lebih komprehensif.
  • Oleh karena itu, tim asistensi penyusunan konsep NA dan RUU tentang Perubahan UU MD3, sesuai tugas dari Badan Keahlian DPR RI berencana melaksanakan pengumpulan data dan informasi untuk menggali poin-poin substansi dalam rangka penyusunan konsep NA dan RUU tentang Perubahan UU MD3.

©2017 – Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI Gedung Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI Lantai 7, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp.021-5715468 / 5715455 – Fax.021-5715706 : Detail Rancangan Undang-Undang (Rencana Penyusunan RUU)

Apakah DPR RI dan DPD RI berhak mengajukan rancangan undang-undang?

Berdasarkan ketentuan konstitusional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945 dan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD memberikan wewenang bagi DPD RI untuk mengusulkan rancangan undang-undang. DPD RI merupakan lembaga negara yang merepresentasikan daerah dan masyarakat.

Salah satu usul inisiatif DPD RI adalah RUU tentang Kebidanan. Profesi bidan merupakan tenaga kesehatan yang perlu dipayungi secara hukum dalam bentuk undang-undang untuk memberikan landasan bagi pengembangan profesi, kompetensi dan perlindungan hukumnya di satu sisi dan di sisi lain memastikan layanan mutu kesehatan terkait profesi bidan yang menyeluruh dan merata di semua daerah.

Secara yuridis, sebenarnya menyangkut tenaga kesehatan, termasuk profesi bidan didalamnya mengalami komplikasi pengaturan. Pertama, pada saat ini telah berlaku tiga undang-undang yang saling terkait dan berhimpitan yakni UU tentang Praktik Kedokteran, UU tentang Tenaga Kesehatan dan UU tentang Keperawatan.

Etiga undang-undang di atas sebenarnya tumpang tindih mengingat bila mengacu pada UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan khususnya di Pasal 1 angka 6 dan Pasal 21, maka sesungguhnya yang dimaksud tenaga kesehatan diantaranya adalah dokter dan perawat. Dengan demikian, seharusnya cukup undang-undang tenaga kesehatan yang didalamnya mengatur profesi dokter dan perawat.

Kedua, akibat tumpang tindih dan himpitan antar undang-undang, maka berkonsekuensi tiap profesi tenaga kesehatan memiliki hak yang sama untuk diatur dalam undang-undang tersendiri. Termasuk dalam hal ini profesi bidan. Atas argumentasi inilah maka pengaturan UU tentang Kebidanan menjadi niscaya.

Apa saja tugas dan wewenang DPD?

Fungsi, Tugas, dan Wewenang – Beranda Profil Fungsi, Tugas, dan Wewenang Mengacu pada ketentuan Pasal 22D UUD 1945 dan Tata Tertib DPD RI bahwa sebagai lembaga legislatif DPD RI mempunyai fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Sedangkan tugas dan wewenang DPD RI adalah :

  1. Pengajuan Usul Rancangan Undang-Undang
  2. Pembahasan Rancangan Undang-Undang
  3. Pertimbangan Atas Rancangan Undang-Undang dan Pemilihan Anggota BPK
  4. Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang

Profil DPD Daerah Latar Belakang Tatib/Kode Etik DPD RI Hak dan Kewajiban Anggota DPD RI Fungsi, Tugas, dan Wewenang Visi & Misi DPD RI

  • Hari Ini
  • Akan Datang

09:00 5″> Lihat Detail Tidak Ada Kegiatan 09:00 5″> Lihat Detail Tidak Ada Kegiatan

Lembaga eksekutif itu apa?

Lembaga Eksekutif – Lembaga eksekutif merupakan suatu lembaga yang diberi kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang. Lembaga eksekutif terdiri dari:

Presiden Wakil Presiden Kementerian negara Pejabat setingkat menteri Lembaga pemerintah nonkementerian

Presiden dan wakil presiden adalah pemimpin dalam lembaga ini. Baca juga: Coba Jelaskan Apa Saja Wewenang Lembaga Eksekutif! Jawaban TVRI SD Diterangkan Dr.J. UU Nurul Huda, Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum UIN Bandung, dalam Hukum Lembaga Negara, di negara demokratis, secara sempit lembaga eksekutif diartikan sebagai kekuasaan yang dipegang oleh raja atau presiden beserta menteri-menterinya.

Apa itu lembaga yudikatif?

Pengertian Yudikatif – Apabila melihat pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), istilah “yudikatif” ini memiliki dua makna berupa ‘ bersangkutan dengan fungsi dan pelaksanaan lembaga peradilan’ dan ‘bersangkutan dengan badan yang bertugas mengadili perkara ‘.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa yudikatif adalah lembaga atau badan negara yang mempunyai fungsi dan peran dalam hal mengadili perkara atas siapapun, terutama yang melanggar perundang-undangan. Sedikit tambahan, pembagian kekuasaan yang didasarkan pada fungsinya akan menunjukkan adanya perbedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan, terutama yang bersifat eksekutif, legislatif, dan yudikatif, kemudian itu semua disebut dengan Trias Politika,

Dalam Trias Politika ini memiliki anggapan bahwa kekuasaan dalam suatu negara itu terdiri atas tiga macam kekuasaan, yakni berupa:

  1. Kekuasaan Legislatif, atau dikenal juga dengan kekuasaan membuat Undang-Undang yang kemudian dalam peristilahan baru disebut Rule Making Function,
  2. Kekuasaan Eksekutif, atau dikenal juga dengan kekuasaan Undang-Undang, yang kemudian dalam peristilahan baru disebut Rule Application Function,
  3. Kekuasaan Yudikatif, atau dikenal juga dengan kekuasaan mengadili atas adanya pelanggaran dalam perundang-undangan, yang kemudian disebut Rule Adjudication Function,

Keberadaan Trias Politika yang membahas mengenai fungsi kekuasaan negara ini pertama kalinya diperkenalkan di Perancis pada abad ke-XVI. Menurut John Locke (1632-1704) dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government (1690) yang mengemukakan konsepsi akan fungsi kekuasaan negara itu dibagi menjadi tiga, yakni fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi federatif (hubungan luar negeri), yang lantas masing-masingnya terpisah satu sama lain.

Onsep tersebut dikembangkan oleh Montesquieu dengan membagi kekuasaan di suatu negara menjadi tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan yudikatif yang sangat ditekankan oleh Montesquieu ini disebut-sebut menjadi titik kemerdekaan individu dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.

Montesquieu juga turut menekankan hal lain, yakni pada kebebasan kekuasaan yudikatif. Hal tersebut dilakukan karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia selaku warga negara, yang kala itu telah menjadi korban kekuasaan para raja.

Apa yang dimaksud dengan lembaga legislatif?

Lembaga legislatif, badan legislatif, legislatif, atau legislatur adalah badan deliberatif pemerintah dengan kuasa membuat hukum, Legislatif dikenal dengan beberapa nama, seperti parlemen, kongres, atau majelis nasional, Dalam sistem Parlemen, legislatif adalah badan tertinggi dan menujuk eksekutif, Dalam Sistem Presidensial, legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama dan bebas dari eksekutif. Sebagai tambahan atas menetapkan hukum, legislatif biasanya juga memiliki kuasa untuk menaikkan pajak dan menerapkan anggaran dan pengeluaran uang lainnya. Legislatif juga kadang kala menulis perjanjian dan memutuskan perang,

Apa saja tugas DPR?

Tentang DPR – Terkait dengan fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan wewenang:

Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah) Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD Menetapkan UU bersama dengan Presiden Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU

Terkait dengan fungsi anggaran, DPR memiliki tugas dan wewenang:

Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden) Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara maupun terhadap perjanjian yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara

Terkait dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang:

Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD (terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama)

Tugas dan wewenang DPR lainnya, antara lain:

Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk: (1) menyatakan perang ataupun membuat perdamaian dengan Negara lain; (2) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal: (1) pemberian amnesti dan abolisi; (2) mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar lain Memilih Anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD Memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial terkait calon hakim agung yang akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh Presiden Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk selanjutnya diajukan ke Presiden

: Situs Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia – DPR RI

Apa fungsi DPD dalam bidang legislasi?

Situs Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia – DPR RI Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan

    Proses amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru sebagai konsekuensi pelaksanaan demokrasi dalam kerangka penciptaan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk sebagai pemenuhan keterwakilan aspirasi daerah dalam tatanan pembentukan kebijakan ditingkat pusat. Pasal 22D UUD 1945 telah menyebutkan kewenangan DPD dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu. UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah menjelaskan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan DPD, namun beberapa ketentuan yang tercantum dalam UU MD3 dinilai belum secara maksimal mengejahwantahkan kewenangan DPD sebagaimana UUD 1945 hal ini diperkuat dengan adanya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah mengembalikan kewenangan DPD dalam pemenuhan fungsi legislasinya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Namun demikian, UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (UU MD3) yang terbit pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan menggantikan UU No.27 Tahun 2009, tetap saja memuat ketentuan Pasal-pasal yang mereduksi, menegasikan, bahkan mengikis kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk UU MD3 nyata-nyata tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi No.92/PUU-X/2012 tersebut. Kondisi yang demikian ini jelas-jelas tidak memberikan teladan bagi rakyat Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum, karena justru Lembaga Negara setingkat pembentuk UU juga tidak mengindahkan keputusan lembaga yang diberi kewenangan konstitusi untuk memutuskan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945, yakni Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Putusan MK tersebut, DPD berpandangan perlunya dilakukan penyesuaian dan perubahan terhadap UU MD3 terutama kaitannya dengan pelaksanaan kewenangan kelembagaan DPD serta mekanisme pelaksanaan pembahasan legislasi yang konstitusional. Disisi lain, DPD juga berpandangan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas serta kewenangan DPR, DPD, dan DPRD harus diatur melalui undang-undang yang terpisah. Hal ini sejalan dengan Pasal 22C Ayat (4) jo Pasal 19 Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Susunan dan Kedudukan DPD diatur dengan undang-undang. Makna kata “dengan” dapat diasumsikan bahwa pengaturan tengtang susunan dan kedudukan DPD diatur dalam ketentuan undang-undang sendiri. Begitupun dengan DPR sebagaimana Pasal 19 Ayat (2) UUD 1945. Adapun tujuan penyusunan RUU Perubahan atas UU No.17 Tahun 2014 tentang MD3, adalah:

    1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi oleh DPD sebagai lembaga perwakilan daerah dalam proses legislasi khususnya dalam rangka mengemban visi dan misi memperjuangkan kepentingan daerah dalam penentuan kebijakan nasional;
    2. Merumuskan permasalahan hukum yang terkait dengan penentuan norma-norma hukum kewenangan DPD sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 1945 yang kemudian didelegasikan ke undang-undang pelaksanaannya, yaini UU MD3;
    3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan
    4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

: Situs Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia – DPR RI

Apakah DPD mempunyai fungsi legislasi?

Portal DPD | Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia 16 Maret 2022 oleh Humas DPD RI Mengacu pada ketentuan Pasal 22D UUD 1945 dan Tata Tertib DPD RI bahwa sebagai lembaga legislatif DPD RI mempunyai fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran yang dijalankan dalam kerangka fungsi representasi.1.Pengajuan Usul Rancangan Undang Undang Mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.2.Pembahasan Rancangan Undang Undang Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.3.Pertimbangan Atas Rancangan Undang-Undang dan Pemilihan Anggota BPK Pertimbangan atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undangundang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

MPR singkatan dari apa?

UU 16/1969, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

  • UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA
  • NOMOR 16 TAHUN 1969
  • TENTANG
  • SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
  • DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
  • PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
  • Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan seperti tercantum dalam Pancasila dan Undang‑undang Dasar 1945;
  • b. bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat itu diperlukan lembaga‑lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat yang dibentuk dengan Pemilihan Umum;

c. bahwa berhubung dengan itu dan untuk melaksanakan ketentuan‑ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 19 ayat (1) Undang‑undang Dasar dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum jo No. XLII/MPRS/ 1968 tentang perobahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia.

  • No. XI/MPRS/ 1966 tentang Pemilihan Umum, perlu segera dibentuk Undang‑undang mengenai lembaga‑lembaga tersebut.
  • Mengingat : 1.
  • Pasal 1, pasal 2 ayat (1), pasal 5 ayat (1), pasal 19 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) Undang‑undang Dasar 1945; 2.
  • Etetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara: a. No.
  • X/MPRS/1966; b.

No b. No. XI/MPRS/1966; c. No. XIX/MPRS/1966; d. No. XXII/MPRS/1966; e. No. XLII/MPRS/1968; 3. Undang‑undang No.15 tahun 1969 tentang Pemilihan Anggota anggota Badan Permusyawaratan Perwakilan Rakyat.

  1. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
  2. MEMUTUSKAN:
  3. Menetapkan : UNDANG‑UNDANG TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
  4. BAB I.
  5. MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT.

1. Susunan. Pasal 1. (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disebut dengan singkatan M.P.R., terdiri atas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan Utusan‑utusan dari Daerah, Golongan Politik dan Golongan Karya. (2) Jumlah anggota M.P.R. adalah dua kali lipat jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

3) Anggota tambahan M.P.R. terdiri dari: a. Utusan Daerah seperti tersebut dalam pasal 8; b. Utusan,b. Utusan Golongan Politik dan Golonngan Karya ditetapkan berdasarkan imbangan hasil pemilihan umum; organisasi Golongan Politik/Karya yang ikut pemilihan umum, tetapi tidak mendapat wakil di D.P.R. dijamin satu utusan di M.P.R yang jumlah keseluruhannya tidak melebihi sepuluh orang utusan; c.

Utusan Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata yang ditetapkan berdasarkan pengangkatan. (4) Jumlah anggota M.P.R. yang diangkat ditetapkan sebanyak sepertiga dari seluruh anggota M.P.R. dan terdiri: a. Anggota D.P.R.

  • Yang diangkat seperti tersebut dalam pasal 10 ayat (4); b.
  • Anggota tambahan M.P.R.
  • Dari golongan Karya Angkatan Bersenjata seperti tersebut dalam ayat (3) huruf c yang pengangkatannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata.c.
  • Anggota tambahan M.P.R.
You might be interested:  Bagaimana Cara Melakukan Gerak Tinggi Pada Tari?

dari Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata seperti dalam ayat (3) huruf c diangkat oleh Presiden baik atas usul organisasi yang bersangkutan maupun atas prakarsa Presiden. (5) Jumlah Utusan Golongan Karya A.B.R.I. dan Golongan Karya bukan A.B.R.I. yang dimaksud dalam ayat (4) b dan c ditetapkan oleh Presiden.2.

  • a. Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  • b. Dapat berbahasa Indonesia dan cakap menulis dan membaca huruf latin;
  • c. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, kepada Undang‑undang Dasar 1945 dan kepada Revolusi Kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mengemban Amanat Penderitaan Rakyat;

d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Parti Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G.30.S./P.K.I” atau organisasi terlarang lainnya; e. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi; f.

Tidak sedang menjalani pidana penjara atau kurangan berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang dikenakan ancaman hukuman sekurang‑kurangnnya 5 tahun; g. Nyata‑nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya. (2) Anggota M.P.R. harus bertempat tinggal didalam wilayah Republik Indonesia.

(3) Keanggotaan M.P.R. diresmikan dengan Keputusan Presiden. Pasal 3. Masa jabatan keanggotaan M.P.R. adalah lima tahun, mereka berhenti bersama‑sama setelah masa keanggotannya berakhir. Pasal 4. (1) Anggota M.P.R. berhenti antar waktu sebagai anggota karena : a.

  1. c. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
  2. d. berhenti sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
  3. e. tidak memenuhi lagi syarat‑syarat tersebut dalam pasal 2 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib;

f. dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai anggota M.P.R dengan keputusan M.P.R.; g. diganti menurut pasal 43; h. terkena larangan perangkapan jabatan menurut Bab.V. (2) Anggota‑anggota yang berhenti antar waktu menurut ayat (1) tempatnya diisi oleh: a.

  • (3) Anggota yang menggantikan antar waktu anggota lama, berhenti sebagai anggota pada saat anggota yang digantikannya‑ itu seharusnya meletakkan jabatannya.
  • (4) Pemberhentian anggota karena tidak memenuhi lagi syarat pasal 2 ayat (1) huruf c, d, f dan karena alasan tersebut dalam pasal 4 ayat (1) huruf f adalah pemberhentian tidak dengan hormat.
  • Pasal 5.

Pemberhentian anggota M.P.R. diresmikan dengan Keputusan Presiden. Pasal 6. (1) Sebelum memangku jabatannya, anggota M.P.R. bersama‑sama diambil sumpah/janjinya menurut agamanya masing‑masing oleh Ketua Mahkamah Agung dalam rapat paripurna terbuka M.P.R.

  1. Pasal 7.
  2. Bunyi sumpah/janji dimaksud dalam pasal 6 adalah sebagai berikut:
  3. “Saya bersumpah (menerangkan dengan sungguh‑sungguh) bahwa saya untuk menjadi anggota (Ketua/Wakil Ketua) Majelis Permusyawaratan Rakyat langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga.
  4. Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali‑kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi Amanat Penderitaan Rakyat, bahwa saya akan taat dan akan mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara. Undang‑undang Dasar 1945, dan segala Undang‑undang serta. peraturan‑peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia, bahwa saya akan berusaha sekuat tenaga memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia dan bahwa saya akan setia pada Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia”.3.

  • a. Daerah Tingkat I yang berpenduduk kurang dari satu juta orang mendapat empat orang utusan;
  • b. Daerah Tingkat I yang berpenduduk satu juta sampai lima juta orang mendapat lima orang utusan;
  • c. Daerah Tingkat I yang berpenduduk lima juta sampai sepuluh juta orang, mendapat enam orang utusan; 721

d. Daerah Tingkat I yang berpenduduk sepuluh juta ke atas mendapat tujuh orang utusan.

  1. (2) Utusan Daerah termasuk Gubernur/Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I.
  2. (3) Pelaksanaan ketentuan tersebut dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  3. (4) Perhitungan jumlah Utusan Daerah dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat seperti termaktub dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan sensus terakhir dengan memperhatikan perkembangan pada dilangsungkannya pemilihan umum.

4. Pimpinan M.P.R. Pasal 9. (1) Pimpinan M.P.R. terdiri atas seorang Ketua dan beberapa orang Wakil Ketua yang dipilih oleh dan diantara anggota M.P.R. (2) Cara pemilihan anggota Pimpinan M.P.R. diatur dalam Peraturan Tata‑Tertib M.P.R yang dibuat oleh M.P.R sendiri.

  1. 3) Selama Pimpinan M.P.R.
  2. Belum ditetapkan, musyawarah‑musyawarahnya untuk sementara waktu dipimpin oleh anggota yang tertua usianya dan dibantu oleh anggota yang termuda usianya.
  3. BAB II, BAB II.
  4. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT.5. Susunan. Pasal 10.
  5. 1) Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya disebut dengan singkatan D.P.R.

terdiri dari anggota‑anggota: a. Golongan Politik; b. Golongan Karya. (2) Pengisian keanggotaan D.P.R. dilakukan dengan cara pemilihan umum dan pengangkatan. (3) Jumlah anggota D.P.R. ditetapkan sebanyak 460 (empat ratus enam puluh) orang, terdiri atas 360 (tiga ratus enam puluh) orang dipilih dalam pemilihan umum dan 100 (seratus) orang diangkat.

(4) Anggota D.P.R. yang diangkat dalam jumlah seperti tersebut dalam ayat (3), terdiri dari: a. Golongan Karya Angkatan Bersenjata yang pengangkatannya ditetapkan atas usul Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata dan diresmikan dengan Keputusan Presiden.b. Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata diangkat oleh Presiden baik atas usul organisasi yang bersangkutan maupun atas prakarsa Presiden.

(5) Jumlah anggota Golongan Karya A.B.R.I. dan Golongan Karya bukan A.B.R.1 yang dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan oleh Presiden.6. Keanggotaan,6. Keanggotaan. Pasal 11, (1) Untuk dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus dipenuhi syarat tersebut dalam pasal 2 ayat (1).

  1. 2) Anggota D.P.R.
  2. Harus bertempat tinggal di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
  3. 3) Keanggotaan D.P.R.
  4. Diresmikan dengan Keputusan P Presiden. Pasal 12.
  5. Masa keanggotaan D.P.R.
  6. Adalah lima tahun, mereka berhenti bersama‑sama setelah masa keanggotaannya berakhir. Pasal 13.
  7. 1) Seorang Anggota D.P.R.
  8. Berhenti antar waktu sebagai anggota karena sebab seperti yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dan tempatnya diisi menurut cara yang diatur dalam pasal 4 ayat (2).

(2) Anggota yang menggantikan antar waktu anggota lama, berhenti sebagai anggota pada saat anggota yang digantikannya itu seharusnya meletakkan jabatan. (3) Ketentuan yang disebut dalam pasal 4 ayat (4) dan pasal 5 berlaku juga bagi Anggota D.P.R. (4) Pemberhentian Anggota D.P.R diresmikan dengan Keputusan Presiden.

  • Pasal 15.
  • Bunyi sumpah/janji dimaksud dalam pasal 14 adalah sebagai berikut:
  • “Saya bersumpah (menerangkan dengan sungguh‑sungguh) bahwa saya untuk menjadi anggota (Ketua/Wakil Ketua) Dewan Perwakilan Rakyat langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tiada memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga.
  • Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabtan ini, tiada sekali‑kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.
  • Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya senantiasa menjungjung tinggi Amanat Penderitaan Rakyat, bahwa saya akan taat dan akan mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara. Undang‑undang Dasar 1945 dan segala Undang‑undang serta peraturan‑peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia; bahwa saya akan berusaha sekuat tenaga memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia dan bahwa saya akan setia kepada Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia”

7.Pimpinan D.P.R. Pasal 16. (1) Pimpinan D.P.R. terdiri atas seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang dipilih oleh dan diantara anggota D.P.R. (2) Cara, (2) Cara pemilihan Pimpinan D.P.R. diatur dalam Peraturan Tata‑Tertib Dewan Perwakilan Rakyat yang dibuat oleh D.P.R.

Sendiri. (3) Selama Pimpinan D.P.R. belum ditetapkan, musyawarah‑ musyawarahnya untuk sementara waktu dipimpin oleh anggota yang tertua usianya dan dibantu oleh anggota yang termuda usianya. BAB III. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TINGKAT I.8.Susunan. Pasal 17. (1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I, selanjutnya disebut singkatan D.P.R.D.

I, terdiri atas anggota : a. Golongan Politik; b. Golongan Karya. (2) Pengisian keanggotaan D.P.R.D. I dilakukan dengan cara pemilihan umum dan pengangkatan. (3) Jumlah anggota D.P.R.D. I, ditetapkan sekurang‑kurangnya 40 (empat puluh) dan sebanyak‑banyaknya 75 (tujuh puluh lima) orang anggota.

  1. 4) Jumlah anggota D.P.R.D I yang diangkat ditetapkan sebanyak seperlima dari seluruh anggota D.P.R.D.
  2. I dan terdiri dari: a.
  3. Golongan Karya Angkatan Bersenjata yang pengakatannya ditetapkan atas usul Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata dan diresmikan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.b.

Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, baik atas usul organisasi yang bersangkutan maupun atas prakarsa Menteri Dalam Negeri. (5) Jumlah, (5) Jumlah anggota Golongan Karya A.B.R.1 dan Golongan Karya bukan A.B.R.1 yang dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.

(6) Anggota D.P.R.D. I mewakili Rakyat didalam wilayah tingkat I yang bersangkutan.9. Keanggotaan. Pasal 18. (1) Untuk dapat menjadi anggota D.P.R.D I harus dipenuhi syarat‑syarat tersebut dalam pasal 2 ayat (1). (2) Anggota D.P.R.D I harus bertempat tinggal didalam wilayah Daerah tingkat I yang bersangkutan.

(3) Keanggotaan D.P.R.D. I diresmikan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden. Pasal 19. Masa‑keanggotaan D.P.R.D. I adalah lima tahun, mereka berhenti bersama‑sama setelah masa keanggotaannya berakhir. Pasal 20. (1) Seorang anggota D.P.R.D.

  1. I berhenti antar waktu sebagai anggota karena sebab‑sebab seperti ditentukan dalam pasal 4 ayat (1) dan tempatnya diisi menurut cara yang diatur dalam pasal 4 ayat (2).
  2. 2) Anggota yang menggantikan antar waktu anggota lama, berhenti sebagai anggota pada saat anggota yang digantikan itu seharusnya meletakkan jabatannya.

(3) Ketentuan tersebut dalam pasal 4 saat (4) berlaku juga bagi anggota D.P.R.D I.(4) Pemberhentian anggota D.P.R.D. I diresmikan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden. Pasal 21, Pasal 21. (1) Sebelum memangku jabatannya, anggota D.P.R.D.

  1. Pasal 22.
  2. Bunyi sumpah/janji dimaksud dalam pasal 21 adalah sebagai berikut:
  3. “Saya bersumpah (menerangkan dengan sungguh‑sunguh) bahwa saya, untuk menjadi anggota (Ketua/Wakil Ketua)a Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tiada memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga.
  4. Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali‑kali akan menerima langsung atau tak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
  5. Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi Amanat Penderitaan Rakyat; bahwa saya akan taat dan akan mempertahankan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, Undang‑undang Dasar 1945, dan segala Undang‑undang serta Peraturan‑peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia; bahwa saya akan berusaha sekuat tenaga memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia dan bahwa saya akan setia kepada Nusa dan Bangsa dan Negara Republik Indonesia”.

10. Pimpinan,10. Pimpinan D.P.R.D. I Pasal 23. (1) Pimpinan D.P.R.D I terdiri atas seorang Ketua dan beberapa orang Wakil Ketua yang dipilih oleh dan diantara anggota‑anggota D.P.R.D.I. (2) Cara pemilihan anggota Pimpinan D.P.R.D I diatur dalam Peraturan Tata‑Tertib yang dibuat oleh D.P.R.D.

  • I sendiri.
  • 3) Selama Pimpinan D.P.R.D.
  • I belum ditetapkan musyawarah‑musyawarahnya untuk sementara waktu dipimpin oleh anggota yang tertua usianya dan dibantu oleh anggota yang termuda usianya. BAB IV.
  • DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TINGKAT II.11. Susunan. Pasal 24.
  • 1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II, selanjutnya disebut dengan singkatan D.P.R.D.II, terdiri dari anggota‑anggota: a.

Golongan Politik; b. Golongan Karya. (2) Pengisian keanggotaan D.P.R.D. II dilakukan dengan cara pemilihan umum dan pengakatan. (3) Jumlah anggota D.P.R.D. II ditetapkan sekurang‑kurangnya 20 (dua puluh) orang dan sebanyak‑banyaknya 40 (empat puluh) orang.

  • 4) Jumlah anggota D.P.R.D.
  • II yang diangkat ditetapkan sebanyak seperlima dari seluruh anggota D.P.R.D II yang diangkat ditetapkan sebanyak seperlima dari seluruh anggota D.P.R.D II dan terdiri dari: a.
  • Golongan,a.
  • Golongan Karya Angkatan Bersenjata yang pengangkatannya ditetapkan atas usul Menteri Pertahanan dan Keamanan/ Panglima Angktan Bersenjata dan diresmikan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.b.

Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden baik atas usul organisasi yang bersangkutan maupun atas prakarsa Menteri Dalam Negeri. (5) Jumlah anggota Golongan Karya ABRI dan Golongan Karya bukan ABRI yang dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.

(6) Anggota D.P.R.D II mewakili Rakyat didalam wilayah Daerah Tingkat II yang bersangkutan.12. Keanggotaan. Pasal 25. (1) Untuk dapat menjadi anggota D.P.R.D. II harus dipenuhi syarat‑syarat tersebut dalam pasal 2 ayat (1). (2) Anggota D.P.R.D. II harus bertempat tinggal didalam wilayah Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

(3) Keanggotaan D.P.R.D. II diresmikan dengan Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan. (4) Keanggotaan D.P.R.D. II diresmikan dengan Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I atas nama Menteri Dalam Negeri. Pasal 26. Masa keanggotaan D.P.R.D.

II adalah lima tahun, mereka berhenti bersama‑sama setelah masa keanggotaannya berakhir. Pasal 27, Pasal 27. (1) Seorang angota D.P.R.D. II berhenti antar waktu sebagai anggota, karena sebab‑sebab seperti ditentukan pada pasal 4 ayat (1) dan diganti dengan calon berikutnya menurut urutan yang tercantum dalam daftar calon organisasi yang bersangkutan.

(2) Anggota yang menggantikan antar waktu anggota lama berhenti sebagai anggota pada saat anggota yang digantikannya itu seharusnya meletakkan jabatannya. (3) Ketentuan yang tersebut dalam pasal 4 ayat (4) berlaku juga untuk anggota D.P.R.D. II. (4) Pemberhentian anggota D.P.R.D.

  • II diresmikan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pasal 28.
  • 1) Sebelum memangku jabatannya, anggota D.P.R.D.
  • II bersama‑sama diambil sumpah/janjinya menurut agamanya masing‑masing oleh Kepala Pengadilan Negeri atas nama Ketua Mahkamah Agung dalam rapat paripurna terbuka D.P.R.D. II.
  • 2) Ketua D.P.R.D.

II atau anggota Pimpinan lainnya mengambil sumpah/janji anggota D.P.R.D. II yang belum diambil sumpah/ janjinya oleh Kepala Pengadilan Negeri atas nama Ketua Mahkamah Agung menurut ayat (1).

  • Pasal 29.
  • Bunyi sumpah/janji dimaksud dalam pasal 28 adalah sebagai berikut:
  • “Saya bersumpah (menerangkan dengan sungguh‑sungguh) bahwa saya, untuk menjadi anggota (Ketua/Wakil Ketua) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tiada memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun juga.
  • Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali‑kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.
  • Saya bersumpah(berjanji) bahwa saya senantiasa akan menjungjung tinggi Amanat Penderitaan Rakyat, bahwa saya akan taat dan akan mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, Undang‑undang Dasar 1945 dan segala Undang‑undang serta Peraturan‑peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia, bahwa saya akan berusaha sekuat tenaga, memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia dan bahwa saya akan setia pada Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia”.

13. Pimpinan D.P.R.D. II. Pasal 30. (1) Pimpinan D.P.R.D. II terdiri dari seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang dipilih oleh dan diantara anggota D.P.R.D. (2) Cara pemilihan anggota Pimpinan D.P.R.D. II, diatur dalam Peraturan Tata‑Tertib yang dibuat oleh D.P.R.D.

II sendiri. (3) Selama Pimpinan D.P.R.D II belum ditetapkan, musyawarah‑musyawarahnya untuk sementara waktu dipimpin oleh anggota yang tertua usianya dan dibantu oleh anggota yang termuda usianya. BAB V. KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN RAKYAT.14. Hak-hak Badan Permusyawaratan Perwakilan Rakyat.

Pasal 31. Untuk dapat melaksanakan fungsinya, M.P.R. mempunyai hak‑hak yang tercantum dalam Undang‑undang Dasar 1945. Pasal 32, Pasal 32. (1) Untuk dapat melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud Undang‑undang Dasar 1945, D.P.R. mempunyai hak:

  1. a. Mengajukan pertanyaan bagi masing‑masing Anggota;
  2. b. Meminta keterangan (interpelasi);
  3. c. Mengadakan penyelidikan (angket);
  4. d. Mengadakan perubahan (amandemen);
  5. e. Mengajukan pernyataan pendapat;

f. Mengajukan/menganjurkan seseorang jika ditentukan oleh sesuatu perundang‑undangan. (2) Hak tersebut dalam ayat (1) huruf c diatur dengan Undang‑undang. Pasal 33. Untuk dapat melaksanakan fungsinya, D.P.R.D. mempunyai hak‑hak yang diatur dalam Undang‑undang tersendiri.

  • 15. Kekebalan anggota‑anggota badan
  • permusyawaratan/perwakilan rakyat.
  • Pasal 34.

Anggota‑anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat tidak dapat dituntut dimuka Pengadilan karena pernyataan‑pernyataan yang dikemukakan dalam rapat Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, baik terbuka maupun tertutup, yang diajukannya secara lisan maupun tertulis kepada Pimpinan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat atau kepada Pemerintah, kecuali jika mereka mengumumkan apa yang disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal‑hal yang dimaksud oleh ketentuan‑ketentuan mengenai pengumuman rahasia Negara dalam buku Kedua Bab I.K.U.H.P.16.

  1. 16. Kedudukan protokoler/keuangan
  2. Pasal 35.
  3. Kedudukan protokoler dan keuangan Pimpinan/anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat diatur oleh badan masing‑masing tersebut bersama‑sama dengan Pemerintah/Pemerintah Daerah.
  4. Pasal 36.

Agar M.P.R./D.P.R. dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan sifat dan martabat M.P.R./D.P.R. dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara disediakan bagian anggaran tersendiri.17. Peraturan tata‑tertib. Pasal 37. Peraturan Tata‑tertib dari masing‑masing Badan Permusyawaratan/Perwakilan diatur sendiri oleh masing‑masing badan tersebut.18.

Rangkapan jabatan. Pasal 38. (1) Keanggotaan D.P.R. tidak dapat dirangkap dengan jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Jaksa Agung, Ketua dan Hakim‑hakim Anggota Mahkamah Agung, Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung dan jabatan lain yang tidak mungkin dirangkap yang diatur dalam peraturan perundang‑undangan.

(2) Pimpinan M.P.R. tidak dapat dirangkap dengan jabatan‑jabatan tersebut dalam ayat (1). (3), (3) Keanngotaan D.P.R. tidak boleh dirangkap dengan jabatan Keanggotaan D.P.R.D. I dan II dan ketentuan ini berlaku sebaliknya. Pasal 39. (1) a. Seorang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dibebaskan untuk sementara waktu dari jabatan organiknya selama menjadi anggota Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat itu tanpa menghilangkan statusnya sebagai pegawai negeri sipil.b.

  1. Etentuan mengenai pembebasan sementara dari jabatan organik bagi anggota Angkatan Bersenjata dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini diserahkan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata.
  2. 2) Seorang pegawai negeri sipil yang dicalonkan untuk keanggotaan sesuatu Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dibebaskan untuk sementara dari jabatan organik selama masa pencalonan; setelah ia terpilih baginya berlaku ketentuan tersebut dalam ayat (1).

Pasal 40. Selain jabatan‑jabatan yang tersebut dalam pasal 38, keanggotaan D.P.R.D. tidak boleh dirangkap dengan: a. Jabatan Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah atau anggota Badan Pemerintah Harian dari Daerah yang bersangkutan atau Daerah yang lain; b. Ketua, Wakil Ketua dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah yang lain; c.

  • Pasal 42.
  • Bagi Anggota‑anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat diadakan Undang‑undang tersendiri mengenai pemanggilan, permintaan keterangan berhubung dengan suatu tindak pidana, penangkapan, penahan, pengeledahan dan penyitaan.
  • BAB VI.
  • KETENTUAN‑KETENTUAN LAIN.
  • 20 Hak mengganti.
  • Pasal 43.
  • (1) Tiap Organisasi/Golongan yang dimaksud dalam Undang‑undang ini berhak mengganti wakil‑wakilnya dalam Badan Permusyawaratan Perwakilan Rakyat dengan lebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan Badan Permusyawaratan/Perwakilan yang bersangkutan.
  • (2) Anggota pengganti yang tersebut dalam ayat (1), diambil dari orang yang bertempat tinggal di daerah pemilihan yang bersangkutan, yang memenuhi syarat‑syarat termaktub dalam pasal 2 ayat (1).
You might be interested:  Bagaimana Cara Melakukan Gerak Melempar Bola Basket Melalui Atas Kepala?

(3) Hak pengganti Utusan Daerah dalam M.P.R, ada pada D.P.R.D. I yang bersangkutan.21. Dewan,21. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II.

  1. Pasal 44.
  2. Bagi Badan Perwakilan Rakyat yang akan dibentuk untuk Daerah Tingkat III berlaku prinsip‑prinsip dan azas‑azas dalam Undang‑undang ini.
  3. BAB VII.
  4. KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP.
  5. Pasal 45.
  6. Semua Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang telah ada sebelum Undang‑undang ini berlaku, tetap melaksanakan tugas dan wewenangnya sampai Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang dibentuk berdasarkan Undang‑undang ini mulai menjalankan tugas dan wewenang.
  7. Pasal 46.
  8. Hal‑hal yang belum diatur dalam, Undang‑undang ini, akan diatur dalam peraturan perundangan‑undangan.
  9. Pasal 47.
  10. Segala Peraturan Perundang‑undangan yang bertentangan dengan Undang‑undang ini dinyatakan tidak berlaku.
  11. Pasal 48.

Undang‑undang ini dapat disebut “Undang‑undang tentang Susunan dan Kedudukan M.P.R., D.P.R. dan D.P.R.D”, dan mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar,

  • Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang‑undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
  • Disahkan di Jakarta.
  • pada tanggal 17 Desember 1969.
  • Presiden Republik Indonesia,
  • SOEHARTO

Jenderal T.N.I.

  1. Diundangkan di Jakarta.
  2. pada tanggal 17 Desember 1969.
  3. Sekretaris Negara Republik Indonesia,
  4. ALAMSYAH.

Mayor Jenderal T.N.I.

  • PENJELASAN
  • ATAS
  • UNDANG‑UNDANG NOMOR 16 TAHUN 1969
  • TENTANG
  • SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN
  • RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN
  • DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
  • I. UMUM :

1. SUSUNAN.

  1. Susunan Majelis Permusyawartan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus terbentuk atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan perwakilan.
  2. Oleh karena itu maka susunan Badan Permusyawaratan /Perwakilan Rakyat tersebut harus mencerminkan azas‑azas demokrasi Pancasila.
  3. Azas‑azas tersebut harus dapat disalurkan dalam wadah‑wadah yang dalam sistim Negara Republik Indonesia merupakan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, baik yang bertingkat nasional maupun bertingkat daerah.
  4. Badan‑badan tersebut adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat serta pemegang kekuasaan tertinggi, Dewan Perwakilan Rakyat serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai badan legislatif.
  5. Disusunnya badan‑badan ini bukan untuk menyusun dan membentuk atau mendirikan Negara baru dan juga bukan untuk merubah Undang‑undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 baik sebagian maupun keseluruhannya, tetapi untuk menegakkan, mempertahankan, mengamankan dan mengamalkan Pancasila dan Undang‑undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sebagai yang diperjoangkan Orde Baru.

2. KEANGGOTAAN. Sebagai kenyataan pertumbuhan tata kehidupan masyarakat yang khas Indonesia, maka Masyarakat Indonesia telah mengelompokan kehendak dan isi hati nurani rakyat Indonesia, maka susunan anggotanya harus mencakup kedua golongan tersebut. Hal demikian sesuai dengan Ketetapan M.P.R.S.

  • Telah menjadi prinsip bahwa kedua golongan tersebut di atas adalah sama pentingnya.
  • Undang‑undang Dasar 1945 sendiri tidak menentukan cara pengisian badan‑badan tersebut, mengingat pula situasi dan kondisi pada saat ini, maka pengisian dilakukan dengan jalan pemilihan dan pengangkatan.
  • Pemilihan umum adalah sarana yang bersifat demokratis untuk membentuk kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan musyawarah perwakilan yang digariskan oleh Undang‑undang Dasar Negara.
  • Pengangkatan dimungkinkan oleh demokrasi Pancasila yang menghendaki ikut sertanya segala kekuatan representatif dalam badan‑badan tersebut.
  • Pengisian dengan jalan pengangkatan dilakukan bagi golongan Karya Angkatan Bersenjata dan sebagian Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata.
  • Golongan Karya Angkatan Bersenjata.
  • Mengingat Dwifungsi ABRI sebagai alat Negara dan kekuatan sosial yang harus kompak bersatu dan merupakan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal dan pengaman Pancasila/Undang‑undang Dasar 1945 yang kuat dan sentosa, maka bagi ABRI diadakan ketentuan tersendiri.
  • Fungsi dan tujuan ABRI seperti tersebut di atas tidak akan tercapai jika anggota ABRI ikut serta dalam pemilihan umum, yang berarti bahwa anggota ABRI berkelompok‑kelompok berlain‑lain pilihan dan pendukungnya terhadap golongan‑golongan dalam masyarakat.
  • Karena itu maka anggota‑anggota ABRI tidak menggunakan hak pilih dan hak dipilih, tetapi mempunyai wakil‑wakilnya dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat dengan melalui pengangkatan.
  • Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata.
  • Sebagian Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata yang karena sifat keanggotaan Organisasinya tidak ikut serta dalam pemilihan umum, tetapi merupakan kekuatan dalam bidang sosial, ekonomi, kebudayaan, keagamaan dan sebagai pioner yang tidak dapat diabaikan, secara representatif perlu ada dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.
  • Perwakilan mereka itu diadakan melalui pengangkatan.

3.A. GOLONGAN POLITIK. Anggota dari Golongan Politik, mewakili paham politik yang telah hidup secara meluas dan mendalam dikalangan rakyat. Dengan berpedoman dan berlandaskan pada Peraturan Perundang‑undangan tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan, yang dimaksudkan dengan Golongan Politik ialah Partai Politik yang telah mendapat pengakuan berdasarkan Undang‑undang tersebut.

Dalam pemilihan umum pertama yang dimaksud dengan Golongan Politik ialah organisasi Golongan Politik sebagaimana termaksud dalam pasal 34 Undang‑undang No.15 tahun 1969 tentang pemilihan umum Anggota‑anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Untuk menentukan siapa‑siapa yang menjadi wakil/utusan dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat menurut Undang‑undang ini digunakan hasil yang dicapai dalam pemilihan umum.B.

GOLONGAN KARYA. Golongan Karya sebagai subyek politik yang hidup dalam masyarakat, sudah seyogyanya mendapat perwakilan di dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dengan berpedoman dan berlandaskan pada Peraturan Perundang‑undangan tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan, maka yang dimaksud dengan Golongan Karya adalah yang telah mendapat pengakuan berdasarkan Undang‑undang tersebut.

  1. Di dalam pemilihan umum pertama yang dimaksud dengan Golongan Karya ialah Golongan Karya sebagaimana termaksud dalam pasal 34 Undang‑undang Nomor 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.
  2. Sebagai dasar telah digariskan bahwa organisasi Golongan Karya ikut serta pemilihan umum supaya duduknya dalam Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat merupakan hasil pemilihan umum.

Dengan ikut sertanya pemilihan umum organisasi Golongan Karya dapat mencalonkan/menentukan Wakil Golongannya. Namun ada Golongan Karya yang tidak ikut pemilihan umum, ialah Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan sebagian dari Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata sebagian dari Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata.

  1. Perwakilan golongan ini dalam Badan Permusyawarah/ Perwakilan Rakyat dilakukan dengan pengangkatan.
  2. Anggota Golongan Karya Angkatan bersenjata dalam Badan permusyawaratan Perwakilan diangkat atas usul Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata.
  3. Anggota‑anggota Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata yang tidak ikut dalam pemilihan umum, dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat diangkat atas usul organisasi yang bersangkutan atau atas prakarsa pejabat yang berwenang.4.

UTUSAN DAERAH. Bagi Lembaga Permusyawaratan Rakyat Tertinggi yang tidak harus membawakan suara rakyat secara langsung, tetapi juga harus dapat membina keutuhan dan kesatuan Negara dan Bangsa Indonesia di samping anggota‑anggotanya yang mencakup dua golongan, yaitu Utusan Daerah.

  1. Sesuai dengan namanya, maka Utusan Daerah adalah seorang yang diutus oleh Daerah, untuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  2. Oleh karena itu Urusan Daerah merupakan perutusan yang dianggap dapat membawakan kepentingan rakyat yang ada di daerah masing‑masing di samping dianggap mengetahui dan mempunyai tinjauan yang menyeluruh mengenai persoalan Negara pada umumnya.

Maksudnya Utusan Daerah dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah dengan jalan dipilih oleh D.P.R.D.I. Pemilihan oleh D.P.R.D. I tersebut sesungguhnya merupakan pemilihan yang demokratis pula, karena para anggota D.P.R.D. telah mendapat kepercayaan Rakyat disebabkan keanggotaannya diperoleh dengan jalan dipilih dalam pemilihan umum.5.

PERSYARATAN ANGGOTA. Anggota‑anggota Badan Perwakilan harus terdiri dari Anggota yang benar‑benar mempunyai martabat dan memenuhi syarat‑syarat seperti tercantum dalam pasal 2, sehingga diharapkan dapat menyelenggarakan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat. II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. (1) Harulah diusahakan agar Utusan Daerah yang dipilih oleh Anggota D.P.R.D.

I mencerminkan jiwa dan isi‑hati nurani rakyat yang ada dan berkembang di daerah itu serta mencerminkan juga kepentingan/kebutuhan daerah yang bersangkutan. Jadi Utusan‑utusan Daerah seharusnya mencerminkan juga kekuatan sosial‑politik yang hidup dalam masyarakat di daerah masing‑masing.

  • Walaupun Utusan Daerah itu kebetulan terpilih dari salah satu golongan yang ada dalam D.P.R.D.
  • I tetapi ia bukan semata‑mata mewakili golongannya, melainkan dalam hal ini ia mewakili daerahnya.
  • Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ketata‑negaraan Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan maka pengertian Utusan Golongan di dalam M.P.R.

ini adalah Utusan Golongan Karya (menurut Penjelasan Undang‑undang Dasar 1945) dan Utusan Golongan Politik (sesuai dengan perkembangan tersebut di atas). Hal ini sesuai dengan Ketetapan M.P.R.S. No. XI/MPRS/ 1966 pasal 3 yang menentukan bahwa susunan D.P.R.

  1. (2) Jumlah seluruh anggota Majelis Permusyawartan Rakyat dua kali lipat jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengingat fungsi lembaga tersebut, sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara berdasarkan sistim kenegaraan menurut Undang‑undang Dasar 1945.
  2. (3), (4), 5).
  3. Cukup jelas.
  4. Pasal 2.

(1) Sub d: Yang dimaksud dengan “terlibat secara langsung” dalam G.30.S./P.K.I. ialah : 1. Mereka yang merencanakan, turut merencanakan atau mengetahui adanya perencanaan Gerakan Kontra Revolusi itu, tetapi tidak melaporkan kepada pejabat yang berwajib.2.

  • Mereka yang dengan kesadaran akan tujuannya, melakukan kegiatan‑kegiatan dalam pelaksanaan Gerakan Kontra Revolusi tersebut.
  • Yang dimaksud dengan “terlibat secara tidak langsung” dalam G.30.S./P.K.I.
  • Ialah : 1.
  • Mereka yang menunjukkan sikap, baik dalam perbuatan atau dalam ucapan‑ucapan, yang bersifat menyetujui Gerakan Kontra Revolusi tersebut.2.

Mereka yang secara sadar menunjukkan sikap, baik dalam perbuatan atau dalam ucapan, yang menentang usaha/gerakan penumpasan G.30.S./P.K.I. Yang dimaksud dengan organisasi yang terlarang dalam pasal ini ialah organisasi‑organisasi yang tegas‑tegas dinyatakan terlarang dengan peraturan perundang‑undangan.

Ketentuan‑ketentuan ini tidak berlaku bagi mereka yang berdasarkan suatu peraturan perundang‑undangan telah mendapat amnesti atau abolisi atau grasi. (2) Ketentuan bertempat tinggal di Indonesia dipandang perlu, mengingat fungsinya uang harus selalu mengikuti dan mengetahui dari dekat dan langsung segala kehidupan di Indonesia.

(3) Sesuai dengan kedudukan keanggotaan yang pada prinsipnya ditentukan dengan pemilihan umum, maka Peresmian dan dengan Keputusan Presiden adalah untuk mengatur kedudukan administrasi selanjutnya. Peresmian tidak secara konstitutif menentukan dapat atau tidaknya seseorang menjadi anggota, tetapi memberikan status resmi kepadanya sebagai anggota.

  • Bagi anggota tambahan M.P.R.
  • Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan Golongan Karya bukan Anggota Angkatan Bersenjata, pengangkatan anggota tersebut adalah peresmian yang dimaksud dalam ayat ini. Pasal 3.
  • Perkembangan yang terjadi selama lima tahun cukup wajar untuk dipakai sebagai dasar pembaharuan, dan sesuai pula dengan fungsi M.P.R.

yang harus memilih Presiden dan Wakil Presiden setiap lima tahun sekali.

  • Pasal 4.
  • (1) Cukup jelas.
  • (2) Yang dimaksud dengan organisasi adalah organisasi Golongan Politik/Partai, organisasi Golongan Karya atau gabungan organisasi Golongan Karya.

Yang dimaksud dengan instansi adalah misalnya D.P.R.D. I dan bagi ABRI Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata. Anggota yang berhenti antar waktu menurut ayat (1) pasal ini tempatnya diisi menurut ketentuan sebagai berikut : a. bagi yang menjadi anggota D.P.R.

  • Yang dipilih berdasarkan pemilihan umum tempatnya diisi oleh calon dari organisasi yang bersangkutan.b.
  • Bagi Utusan Daerah tempatnya diisi oleh calon dari D.P.R.D.
  • I yang bersangkutan; c.
  • Bagi Utusan yang berasal dari organisasi yang ikut dalam pemilihan umum tempatnya diisi oleh calon dari organisasi yang bersangkutan; d.

bagi anggota yang diangkat tempatnya diisi oleh calon dari Presiden baik atas usul organisasi/instansi yang bersangkutan maupun atas prakarsa Presiden.

  1. (3), (4).
  2. Cukup jelas.
  3. Pasal 5.
  4. Cukup jelas.
  5. Pasal 6.
  6. Cukup jelas.
  7. Pasal 7.
  8. Pada waktu pengambilan sumpah/janji lazimnya dipakai kata‑kata tertentu, sesuai dengan agama masing‑masing yaitu, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan kata “Demi Allah” dan untuk penganut agama Kristen/Katolik diakhiri dengan kata‑kata “Semoga Tuhan menolong saya”.
  9. Pasal 8.
  10. Dasar untuk menentukan jumlah Utusan Daerah yang terutama ialah kepentingan daerah dan kepentingan Rakyat di daerah, karena kepadatan penduduk merupakan dasar pertimbangan juga untuk menentukan batas minimum dan maksimum jumlah anggota.

Gubernur/Kepala Daerah sebagai eksponen daerah yang mengetahui persoalan daerah sewajarnya dipilih untuk mewakili daerahnya di M.P.R. sebagai Utusan Daerah.

  • Pasal 9.
  • Cukup jelas.
  • Pasal 10.

Dari jumlah anggota D.P.R. sebanyak 460, maka yang dipilih berdasarkan pemilihan umum adalah 360. Untuk menentukan besarnya wakil dalam tiap‑tiap daerah pemilihan diwilayah Republik Indonesia, maka untuk pemilihan anggota D.P.R., daerah pemilihan adalah daerah tingkat I.

Untuk menentukan banyaknya wakil dalam tiap‑tiap daerah pemilihan dipakai dasar perhitungan tiap‑tiap sekurang‑kurangnya 400.000 penduduk warga negara Indonesia memperoleh seorang wakil, dengan ketentuan bahwa tiap‑tiap daerah pemilihan mempunyai wakil sekurang‑kurangnya sebanyak daerah tingkat II yang terdapat dalam daerah tingkat I tersebut, dan tiap‑tiap daerah tingkat II mempunyai sekurang‑kurangnya seorang wakil.

Ketentuan‑ketentuan selanjutnya tentang cara pembagian jumlah 360 kursi kepada daerah‑daerah tingkat II diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  1. Pasal 11.
  2. Cukup jelas.
  3. Pasal 12.
  4. Cukup jelas.
  5. Pasal 13.
  6. Cukup jelas.
  7. Pasal 14.
  8. Cukup jelas.
  9. Pasal 15.
  10. Cukup jelas.
  11. Pasal 16.
  12. Cukup jelas.
  13. Pasal 17.

Jumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I ditetapkan dengan perhitungan tiap‑tiap, sekurang‑kurangnya 200.000 jiwa penduduk mendapat Seorang Wakil dalam D.P.R.D.I. Oleh karena kepadatan penduduk tidak merata diseluruh wilayah Negara, maka perlu diadakan syarat minimum dan maksimum agar dengan demikian Daerah yang sedikit sekali penduduknya mempunyai wakil dalam D.P.R.D.

  • Pasal 18.
  • Cukup jelas.
  • Pasal 19.
  • Cukup jelas.
  • Pasal 20.

(1) Anggota D.P.R.D. I yang berhenti antar waktu karena sebab‑sebab seperti yang ditentukan dalam pasal 4 ayat (1) tempatnya diisi menurut ketentuan sebagai berikut: a. bagi anggota yang dipilih tempatnya diisi oleh calon dari organisasi yang bersangkutan.b.

  1. (2), (3), (4).
  2. Cukup jelas.
  3. Pasal 21.
  4. Cukup jelas.
  5. Pasal 22
  6. Cukup jelas.
  7. Pasal 23.
  8. Cukup jelas.
  9. Pasal 24.

Jumlah Anggota Dewan Perwakilan rakyat Daerah Tingkat II ditetapkan dengan perhitungan tiap‑tiap sekurang‑kurangnya 10.000 penduduk mendapat seorang wakil dalam D.P.R.D. II. Oleh karena kepadatan penduduk tidak merata di seluruh wilayah Negara, maka perlu diadakan syarat minimum dan maksimum agar dengan demikian Daerah yang sedikit sekali penduduknya mempunyai wakil dalam D.P.R.D.

  • Pasal 25.
  • Cukup jelas.
  • Pasal 26.
  • Cukup jelas.
  • Pasal 27.
  • Lihat penjelasan pasal 20.
  • Pasal 28.
  • Cukup jelas.
  • Pasal 29.
  • Cukup jelas.
  • Pasal 30.
  • Cukup jelas.
  • Pasal 31.
  • Cukup jelas.
  • Pasal 32

(1) Fungsi D.P.R. berdasarkan Undang‑undang Dasar 1945 ialah : a. Membuat Undang‑undang bersama dengan Pemerintah; b. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama‑sama Pemerintah; c. Mengadakan pengawasan terhadap kebijaksanaan Pemerintah. Untuk melaksanakan fungsi tersebut di atas D.P.R.

Mempunyai hak‑hak tersebut dalam pasal ini, yang penggunaannya tidak menimbulkan akibat hukum, sehingga dapat merubah sistim Pemerintahan berdasarkan Undang‑undang Dasar 1945. “Hak interpelasi” adalah salah satu hak yang penting D.P.R. dalam menjalankan tugasnya mengawasi/mengoreksi tindakan Pemerintah.

Hak interpelasi ini dapat diakhiri dengan suatu pernyataan pendapat yang pemakaiannya dilakukan dengan bijaksana. Pernyataan pendapat yang disebut dalam pasal 32 ayat (1) sub e. dapat berbentuk memorandum, resolusi dan atau mosi.

  1. Pasal 33.
  2. Cukup jelas.
  3. Pasal 34.

Pasal ini mengatur kebebasan mengeluarkan pendapat yang memang sejogyanya harus dijamin dalam Negara Demokrasi. Namun demikian para anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, wajib memegang teguh kode yang mengandung prinsip suatu hal yang harus dirahasiakan tidak boleh dibocorkan.

  • Pasal 35.
  • Cukup jelas.
  • Pasal 36.

Mengingat kedudukannya dan fungsinya maka adalah tepat bila M.P.R./D.P.R. mempunyai anggaran sendiri. Penguasaan atas kredit‑kreditnya yang disediakan dalam bagian anggaran yang termaksud dalam pasal ini, dilakukan dengan cara seperti yang berlaku bagi suatu Departemen.

Pasal 37. Dalam peraturan tata‑tertib juga diatur antara lain bahwa: 1.a.M.P.R. mengadakan sidang biasa sedikitnya sekali dalam lima tahun; b.M.P.R. mengadakan persidangan istimewa sesuai dengan ketentuan Undang‑undang Dasar 1945; 2.D.P.R. mengadakan sidang biasa sedikitnya sekali dalam setahun.3.D.P.R.D.

mengadakan sidang biasa sedikitnya sekali dalam setahun.

  1. Pasal 38.
  2. Jabatan keanggotaan Badan Perwakilan pada hakekatnya tidak dapat dirangkap dengan jabatan‑jabatan tersebut dalam pasal ini.
  3. Pasal 39.
  4. (1) Pegawai Negeri yang dimaksud dalam pasal ini adalah mereka yang diangkat oleh Pejabat yang berwenang atas beban Anggaran Negara.

Anggota M.P.R. yang berkedudukan sebagai anggota tambahan temaktub dalam pasal 1 ayat (3) yang tidak menjalankan tugas secara terus‑menerus tidak termasuk dalam ketentuan ini. (2) Cukup jelas. Pasal 40. Selain jabatan‑jabatan yang termaksud dalam pasal 38, bagi anggota D.P.R.D.

  • Pasal 41.
  • Yang dimaksud dengan pekerjaan tertentu dalam pasal ini antara lain:
  • a. menjadi Pengacara (Advokaat) atau kuasa dalam perkara hukum, dalam mana Daerah yang bersangkutan tersangkut;
  • b. ikut serta dalam penetapan atau pengesahan dari perhitungan yang berhubungan dengan kepentingan daerahnya yang dibuat oleh sesuatu badan dalam mana ia duduk sebagai anggota pengurusnya, kecauali apabila hal ini mengenai perhitungan anggaran keuangan Daerah yang bersangkutan;
  • c. langsung atau tidak langsung turut serta dalam atau menjadi penanggung untuk sesuatu usaha menyelenggarakan pekerjaan umum, pengangkutan atau berlaku sebagai rekanan (leveransir) yang kepentingan Daerah;

d. melakukan pekerjaan yang memberikan keuntungan baginya dalam hal‑hal yang berhubungan langsung dengan Daerah yang bersangkutan. Apabila kepentingan Daerah sangat memerlukan maka terhadap larangan‑larangan tersebut dalam pasal ini, Kepala Daerah semufakat Dewan.

Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan pengetahuan. Pasal 42. Pasal ini menginginkan agar supaya anggota‑anggota M.P.R./D.P.R. dapat leluasa melakukan tugasnya sebagai anggota M.P.R./D.P.R. dengan sebaik‑baiknya, dan mendapat jaminan hukum sebagaimana mestinya. Pasal 43. Musyawarah yang lebih bersifat konsultasi dengan Pimpinan Badan Permusyawaratan/Perwakilan dipandang perlu agar diperoleh pertimbangan yang seobyektif‑obyektinya dan guna menghindari hal‑hal yang bersifat subjektif dan sewenang‑wenang.

Karena Utusan Daerah dipilih oleh D.P.R.D. I, dan terutama berkedudukan sebagai Wakil Daerah, maka yang berhak untuk menggantikannya juga adalah pada D.P.R.D. I yang bersangkutan.

  1. Pasal 44.
  2. Karena pembentukan Daerah Tingkat III masih dalam taraf pertumbuhan, maka ketentuan‑ketentuan mengenai lembaga perwakilannya tidak dimasukkan dalam Undang‑undang ini, Cukup jika prinsip‑prinsip dan azas‑azas yang diatur di dalam Undang‑undang ini dipakai sebagai pedoman selanjutnya.
  3. Pasal 45.
  4. Cukup jelas.
  5. Pasal 46.
  6. Cukup jelas.
  7. Pasal 47.
  8. Cukup jelas.
  9. Pasal 48.
  10. Cukup jelas.
  11. CATATAN
  12. Kutipan : LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1969 YANG TELAH DICETAK ULANG

: UU 16/1969, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Apa perbedaan DPD dan DPRD?

Lembaga legislatif terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Apa Perbedaan DPR, DPRD dan DPD ? DPR merupakan perwakilan rakyat di pusat / tingkat nasional sedangkan DPRD merupakan perwakilan rakyat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sementara DPD merupakan utusan daerah yang dikirim ke Jakarta Jangan Lupa SUBSCRIBE dan aktifkan lonceng notifikasinya, agar kalian tidak ketinggalan ilmu dan informasi yang bermanfaat.