Jawabannya adalah Moh. Hatta. Yuk simak pembahasannya! Pada tanggal 17 Agustus 1945, Moh. Hatta mendampingi Sukarno untuk membacakan Proklamasi kemerdekaan, yang artinya Indonesia menjadi negara yang merdeka. Namun, pada sore hari permasalahan sudah muncul.
Moh. Hatta kedatangan seorang tamu, seorang opsir Angkatan Laut Jepang (Kaigun) yang berkuasa di Indonesia Timur dan Kalimantan. Opsir tersebut membawa sebuah pesan, bahwa banyak wakil agama Katolik dan Protestan yang tinggal di wilayah Indonesia Timur dan Kalimantan merasa keberatan dengan pembukaan Undang-undang Dasar, yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Akhirnya, Moh. Hatta menyampaikan pesan yang dibawa opsir tersebut ke sidang PPKI pertama tanggal 18 Agustus 1945. Setelah melalui perdebatan, akhirnya kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” yang memberatkan umat agama lain, diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” Dengan demikian, tokoh yang menerima pesan keberatan mengenai rancangan pembukaan UUD sila pertama pada Piagam Jakarta, adalah Moh.
Contents
- 1 Siapakah nama tokoh yang menyelesaikan masalah Piagam Jakarta?
- 2 Siapa nama tokoh yang keberatan dengan sila pertama?
- 3 Siapa tokoh yang keberatan dengan sila pertama?
- 4 11 Siapakah tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam peristiwa Piagam Jakarta?
- 5 Tokoh yang mendatangi naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik ditunjukkan?
- 5.0.1 Mengapa para tokoh Islam menyetujui perubahan isi dari sila pertama yang ada di Piagam Jakarta?
- 5.0.2 Siapa nama tokoh perwakilan dari Indonesia timur yang menyampaikan keberatan sehingga bunyi sila 1 berubah?
- 5.0.3 Siapa saja yang di ajak Moh Hatta untuk mengadakan suatu rapat pendahuluan sebelum sidang PPKI di mulai?
- 5.1 Siapa yang mengusulkan perubahan pada Piagam Jakarta?
- 5.2 Mengapa para tokoh dari Indonesia bagian timur merasa keberatan dengan salah satu kalimat yang ada dalam naskah Piagam Jakarta?
Siapa sajakah 4 tokoh yang diajak berunding terhadap keberatan dari wakil Indonesia bagian timur dengan sila pertama Piagam Jakarta?
Ki Bagus Hadikusumo dan Dasar Negara Pancasila Foto: dokumen pribadi Jakarta – Menjelang peringatan Hari Pahlawan tahun ini, Presiden Jokowi menetapkan lima nama pahlawan nasional baru. Berdasarkan Keppres No.116/TK/Tahun 2015 tertanggal 4 November, mereka adalah: Benhard Wilhem Lapian, Mas Isman, I Gusti Ngurah Made Agung, Komjen Moehammad Jasin, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Untuk mengenang sebagian jasa mereka, tulisan ini bermaksud mengungkap sepenggal kisah mengenai peran penting Ki Bagus Hadikusumo dalam perumusan dasar-dasar negara Indonesia merdeka pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia.Pemerintah Jepang, setelah menyadari hampir tidak mungkin memenangkan Perang Dunia II, semakin memberi kesempatan para tokoh pergerakan untuk mempersiapkan pranata bagi sebuah Negara Indonesia yang merdeka.
Karena itu, kesempatan yang lama ditunggu-tunggu oleh kaum pergerakan untuk berkumpul guna merancang suatu negara merdeka, terwujud pada 28 Mei 1945 dengan berdirinya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). ADVERTISEMENT SCROLL TO RESUME CONTENT Badan yang terdiri dari 62 anggota tersebut diberi kebebasan besar oleh Pemerintah Jepang untuk membicarakan persoalan-persoalan konstitusional.
Bagi para pendiri bangsa tersebut, inilah kesempatan untuk membuktikan bahwa penderitaan selama masa pendudukan Jepang tidaklah sia-sia.Dilihat dari sisi jumlah, komposisi BPUPKI menempatkan gagasan kelompok nasionalis sekuler sebagai pihak dominan. Pihak yang kurang terwakili adalah pulau-pulau luar Jawa, kaum Marxis berorientasi Barat, dan terutama kaum nasionalis Muslim.
Dari jumlah itu, hanya sekitar 11 orang mewakili kelompok Islam, termasuk di antaranya tokoh-tokoh Muhammadiyah, yakni Mas Mansur (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1936-1942), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1942-1953), dan Abdul Kahar Muzakkir.
- Pembicaraan dalam BPUPKI mengenai dasar negara bagi Indonesia yang akan merdeka memunculkan tiga konsep, yakni Pancasila, Islam, dan sosial-ekonomi.
- Namun konsep terakhir tidak terlalu menjadi bahan perbincangan, karena larut dalam perdebatan ideologis antara dua konsep pertama.
- Perdebatan ideologis itu sebenarnya telah muncul sejak era kebangkitan nasionalisme di awal abad ke-20.
Pada masa itu, kaum nasionalis dari berbagai latar belakang etnis, daerah, dan ideologis bersatu dalam dua buah keyakinan yang sama: suatu negara-bangsa Indonesia dapat menciptakan modernitas, dan penjajah Belanda menghalangi aspirasi itu. Koalisi ini mencakup tiga pandangan utama, yakni Marxis, Muslim, dan developmentalis (Cribb: 2001, 32-37).
- Etegangan antar visi modernitas itu terus berkembang, khususnya antara kalangan Muslim dan developmentalis, pada 1930-an.
- Sampai awal 1940-an, polemik tersebut berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme dan menyentuh masalah lebih penting, yakni hubungan politik antara Islam dan negara.
- Elompok pertama menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi negara Islam, atau Islam harus menjadi dasar ideologi negara.
Sedang kelompok kedua mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional di mana persoalan negara dipisahkan dari persoalan agama.Dalam konteks demikian, BPUPKI sekedar menjadi arena baru bagi ketegangan lama. Sejauh menyangkut pola relasi Islam dan negara, tampak jelas bahwa mereka mengikuti pola perdebatan yang sama sebagaimana beberapa dasawarsa sebelumnya.
Pertarungan ideologis itu berlangsung secara tajam namun konstruktif dalam pertemuan-pertemuan BPUPKI selama akhir Mei hingga pertengahan Juli 1945.Dalam sidang-sidang ini, pihak nasionalis sekuler memunculkan dua konsepsi yang substansinya hampir serupa, yang masing-masing memandang bahwa negara harus netral terhadap agama, yakni lima asas versi Yamin dan lima sila versi Sukarno.
Sementara itu, kalangan Islam terus mempromosikan konsep Islam sebagai dasar negara. Dalam konteks ini penting untuk sekilas melihat konsepsi yang diajukan oleh Ketua Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo dalam Sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945.Dalam sidang tersebut, Ki Bagus mengajukan konsep tentang “membangun negara di atas dasar ajaran Islam”.
- Menurutnya, pertama, Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara Indonesia ini.
- Dan kedua, umat Islam adalah umat yang mempunyai cita-cita luhur dan mulia sejak dahulu hingga masa yang akan datang, yaitu di mana ada kemungkinan dan kesempatan pastilah umat Islam akan membangun negara atau menyusun masyarakat yang berdasarkan atas hukum Allah dan agama Islam (Syaifullah: 1997, 101-102).
Gagasan Ki Bagus tersebut tampaknya didasarkan pada alasan sosiologis-historis dan pemahamannya yang kuat atas ajaran Islam. Ki Bagus beralasan bahwa Islam setidaknya telah enam abad hidup dalam masyarakat Indonesia, atau tiga abad sebelum datangnya kolonial Belanda.
Sehingga ajaran dan hukum Islam telah inheren dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bahkan banyak aspek hukum Islam telah bertransformasi menjadi adat istiadat di banyak suku bangsa Indonesia. Selain itu, Ki Bagus juga mengungkapkan realitas sejarah di mana gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda di berbagai wilayah Indonesia hampir selalu dipimpin tokoh-tokoh Islam, seperti Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Sultan Hasanudin, dan lain lain yang mendasarkan perjuangannya atas ajaran Islam.
Selain aspek sosiologis-historis itu, Ki Bagus juga mengajukan argumennya berdasarkan pemahamannya atas ajaran Islam, yang ia yakini tidak hanya mengatur masalah ritual, tetapi mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebagai satu kesatuan yang utuh.
- Dengan pemahaman keagamaan dan politik demikian, dapat dimengerti jika Ki Bagus Hadikusumo pada awal kedatangan penjajah Jepang telah menunjukkan perlawanannya yang keras.
- Ceritanya, setelah beberapa bulan menduduki Indonesia, Jepang mulai menerapkan beberapa aturan baru bagi para pegawai dan siswa (sebelum masuk kantor dan ruang kelas) untuk melakukan senam, sumpah setia, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, lalu melakukan seikirei, yakni penghormatan kepada Tenno Haika yang bertahta di Tokyo dengan cara membungkukkan badan, sebagaimana orang ruku’ dalam salat.Karena aturan ini merisaukan umat Islam, maka Muhammadiyah memimpin sebuah gerakan perlawanan dengan membuat keputusan bahwa umat Islam tidak boleh melakukan seikirei karena menyimpang dari ajaran tauhid.
Keputusan Muhammadiyah tersebut segera tersiar luas dan ternyata diindahkan oleh sebagian besar umat Islam. Akibat perlawanan ini, Ki Bagus Hadikusumo dipanggil oleh Gunseikan (Gubernur Militer Jepang) di Yogyakarta. Ketika ditanya mengenai pemboikotan oleh Muhammadiyah itu, maka dengan tegas Ki Bagus menjawab bahwa seikirei dilarang menurut ajaran Islam, karena umat Islam hanya memberikan penyembahan kepada Tuhan.
- Setelah melalui dialog panjang lebar, Gunseikan dapat memahami alasan Ki Bagus.
- Gunseikan lalu menyatakan bahwa jika Muhammadiyah keberatan melakukan seikirei, maka tidak akan dipaksa untuk melakukannya.
- Sejak itu, seikirei tidak diwajibkan bagi siswa-siswa sekolah Muhammadiyah (yang hingga akhir 1930-an mencapai 388 buah, terbesar di antara organisasi pergerakan nasional lain), meskipun masih tetap diberlakukan di sekolah-sekolah lain (Majelis Diktilitbang dan LPI: 2010, 113-114).Setelah melalui perdebatan yang alot, hingga akhir masa sidangnya BPUPKI tidak dapat menghasilkan kesepakatan mengenai dasar negara Indonesia (Badan ini lalu dibubarkan, dan kemudian dibentuk sebuah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Dan untuk menjembatani perbedaan itu, dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari sembilan tokoh, yang terdiri dari: Sukarno, Hatta, Subardjo, Yamin, Abikusno, Kahar Muzakkir, Agus Salim, Wahid Hasyim, dan Maramis.Dalam sebuah rapat yang alot pada 22 Juni 1945, Panitia 9 dapat mencapai suatu kesepakatan yang dimaksudkan sebagai Pembukaan UUD, atau setidak-tidaknya sebagai suatu kertas kerja untuk membahas masalah itu lebih lanjut.
Beberapa minggu kemudian Yamin menyebut dokumen politik tersebut sebagai Piagam Jakarta (Anshari: 1983).Piagam Jakarta berisi pengesahan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan pada sila pertama sehingga menjadi: “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kesepakatan tersebut sempat ditolak kalangan nasionalis sekuler, namun akhirnya dapat diterima setelah Sukarno menyerukan agar kedua belah pihak bersedia berkorban demi persatuan bangsa.Namun sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, kesepakatan ini digugurkan atas usul Hatta berdasarkan laporan dari seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang menyatakan bahwa orang-orang Kristiani di wilayah timur Indonesia tidak akan bergabung dengan RI jika unsur-unsur formalistik Islam dalam Piagam Jakarta tidak dihapus.
Usulan Hatta ini disepakati oleh beberapa tokoh Islam, sehingga tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus dan Sila Pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Tokoh-tokoh Islam yang dimintai persetujuan itu adalah Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hassan.
Persoalan ini penting untuk diulas guna mengetahui mengapa tokoh-tokoh Islam tersebut bersedia menerima tawaran Hatta untuk menghapus tujuh kata yang telah disepakati melalui perdebatan alot. Berdasarkan sebuah penelitian (Anshari: 1983, 48), Wahid Hasyim pada saat itu sebenarnya tidak hadir, meskipun Hatta menyatakan bahwa Wahid Hasyim turut hadir.
Mengenai Mohammad Hassan, dapat dipahami jika ia menerima penghapusan “tujuh kata” tersebut mengingat ia sama sekali tidak bisa dimasukkan dalam kelompok nasionalis Islam, dan apalagi ia sama sekali tidak terlibat dalam BPUPKI maupun Panitia 9. Mengenai Kasman Singodimejo (Ketua Muhammadiyah Jakarta), yang merupakan anggota tambahan PPKI, ia menerima undangan mendadak pada pagi harinya, sehingga ia tidak cukup siap untuk membicarakan masalah itu.
- Apalagi Kasman bukan pula anggota BPUPKI maupun Panitia 9.
- Namun demikian, Kasman sangat berperan dalam melunakkan Ki Bagus yang berusaha keras mempertahankan “tujuh kata” sehingga Ki Bagus akhirnya mau menerima penghapusan kalimat tersebut.Karena itu, seluruh tekanan psikologis tentang berhasil atau tidaknya penentuan UUD sebenarnya terletak pada pundak Ki Bagus Hadikusumo, sebagai satu-satunya elemen perjuangan Islam pada waktu itu.
Ditambah lagi, Ki Bagus adalah anggota BPUPKI, PPKI, meskipun bukan anggota Panitia 9. Menurut sebuah penelitian, dalam suatu pertemuan PP Muhammadiyah di Yogyakarta, Kasman mengatakan dengan berkaca-kaca bahwa ia merasa sangat berdosa karena dialah kunci yang melunakkan hati Ki Bagus ketika bertahan pada pencantuman “tujuh kata”.
Ketika itu, Kasman mengatakan kepada Ki Bagus bahwa Belanda sedang thingil-thingil dan thongol-thongol (sedang bersiap dari kejauhan) menyerbu dan merebut kembali Indonesia yang baru merdeka (Syaifullah: 1997, 124). Karena itu logika yang diajukan oleh Kasman untuk meyakinkan Ki Bagus adalah alasan keamanan nasional, di mana kemerdekaan bangsa yang masih sangat muda sedang terancam.
Selain itu, Kasman juga meyakinkan Ki Bagus bahwa UUD tersebut bersifat sementara, sebagaimana dikatakan Sukarno pada awal penyampaian pengantar setelah membuka rapat PPKI pada 18 Agustus siang harinya.Sementara itu, sebuah penelitian lain mengajukan analisis yang hampir serupa mengenai kesediaan tokoh-tokoh Islam menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Effendy: 1998, 90-91).
Pertama, dimasukkannya kata-kata “Yang Maha Esa” dapat dilihat sebagai langkah simbolik untuk menunjukkan kehadiran unsur monoteistik Islam dalam ideologi negara. Bagi tokoh-tokoh Islam tersebut, sifat monoteistik tersebut merupakan cermin dari (atau sedikitnya sejalan dengan) prinsip tauhid dalam Islam.
Kedua, situasi yang berlangsung menyusul Proklamasi Kemerdekaan mengharuskan para pendiri republik untuk bersatu menghadapi masalah-masalah lain. Yang paling penting di antaranya adalah upaya Belanda untuk kembali menduduki wilayah Nusantara. Selain itu, kesediaan para tokoh Islam tersebut tampaknya juga didorong oleh rasa optimisme karena jumlah konstituen yang besar, sehingga mereka percaya bahwa melalui pemilu yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat, mereka masih memiliki kesempatan untuk secara konstitusional menjadikan Islam sebagai dasar negara.Demikianlah, suatu Indonesia baru telah lahir, bukan sebagai negara Islam sebagaimana digagas oleh tokoh-tokoh Islam, dan juga bukan negara sekuler yang memandang agama hanya masalah pribadi.
Ketegangan akibat pertentangan ideologis ini telah berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu gagasan mengenai suatu negara yang ingin mengakui suatu asas religiusitas dan ingin bersifat positif terhadap semua agama. Jadi penyelesaian secara Indonesia dari masalah ideologis ini bukanlah suatu konstitusi yang mempergunakan idiom-idiom khas Islam, tetapi penerimaan nilai-nilai spiritual milik bersama (Bolland: 1985, 40-41).
Namun demikian, konsep ini dapat dianggap sebagai suatu konsep yang pada dasarnya bersifat Islami, tetapi telah dilepaskan dari ajaran agama agar bisa diterima oleh kalangan non-Muslim (Nieuwenhuijze: 1958, 208). Dan salah satu tokoh yang berperan penting dalam kompromi politik-ideologis itu adalah Ki Bagus Hadikusumo. (nwk/nwk) : Ki Bagus Hadikusumo dan Dasar Negara Pancasila
Siapakah salah satu tokoh yang keberatan dan menjadi tokoh dibalik ide peristiwa penghapusan tujuh kata tersebut?
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Sejarah Kementerian Agama tak terlepas dari polemik tujuh kata dalam Piagam Jakarta hingga akhirnya dihapuskan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Foto: Kemenag Jakarta, CNN Indonesia – Sejarah Kementerian Agama ( Kemenag ) tak terlepas dari polemik tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi perdebatan panjang hingga akhirnya dihapuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.
Tujuh kata yang dimaksud adalah bagian dari cikal bakal sila pertama dasar negara Indonesia. Dalam Piagam Jakarta disebutkan, ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.’ Anggota nonmuslim PPKI, Johannes Latuharhary, Sam Ratulangi dan I.G. Ketoet Poedja mengusulkan agar tujuh kata itu dihapus.
Sebab, tujuh kata itu dianggap kurang mengakomodir pemeluk agama dan kepercayaan di luar Islam. Namun, beberapa golongan muslim seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo ingin tujuh kata itu tetap ada. Perdebatan tujuh kata itu berlangsung sengit. Mohammad Hatta pun lantas mendekati tokoh-tokoh Islam agar tujuh kata itu diganti dengan ‘Yang Maha Esa’.
- Penggantian kata itu dimaksudkan demi persatuan bangsa.
- Dikutip dari berbagai sumber, penghapusan ketujuh kata itu juga merupakan permintaan perwakilan Indonesia bagian timur.
- Penghapusan tujuh kata juga tak bisa dilepaskan dari sosok Kasman Singodimedjo, anggota PPKI yang berhasil meyakinkan golongan Islam.
Menurutnya, persatuan lebih penting. Akhirnya mereka bermufakat untuk menghapus tujuh kata itu dan diganti dengan tiga kata usulan Hatta. Sila pertama pun menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Siapakah nama tokoh yang menyelesaikan masalah Piagam Jakarta?
Penghapusan tujuh kata – Pada tanggal 7 Agustus 1945, pemerintah Jepang mengumumkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kemudian, pada 12 Agustus, Soekarno diangkat sebagai ketuanya oleh Panglima Kelompok Ekspedisi Selatan Marsekal Medan Hisaichi Terauchi,
- Hanya empat dari sembilan penandatangan Piagam Jakarta yang menjadi anggota PPKI, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, dan Wahid Hasjim.
- Pada mulanya anggota PPKI akan berkumpul pada 19 Agustus untuk memfinalisasi undang-undang dasar Indonesia.
- Namun, pada 6 dan 9 Agustus 1945, kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Sekutu,
Kemudian, pada 15 Agustus, Kaisar Hirohito mengumumkan bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Soekarno dan Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Kemudian, pada pagi hari tanggal 18 Agustus, PPKI berkumpul untuk mengesahkan undang-undang dasar Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut, Hatta mengusulkan agar tujuh kata di Mukadimah dan Pasal 29 dihapus. Seperti yang kemudian dijelaskan Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, pada malam hari tanggal 17 Agustus, seorang opsir kaigun (Angkatan Laut) Jepang mendatanginya dan menyampaikan kabar bahwa kelompok nasionalis beragama Kristen dari Indonesia Timur menolak tujuh kata karena dianggap diskriminatif terhadap penganut agama minoritas, dan mereka bahkan menyatakan lebih baik mendirikan negara sendiri di luar Republik Indonesia jika tujuh kata tersebut tidak dicabut.
Hatta lalu menjabarkan usulan perubahannya: istilah “ketuhanan” akan diganti dengan “ketuhanan yang maha esa”, sementara istilah “Mukadimah” yang berasal dari bahasa Arab diganti menjadi “Pembukaan”. Ayat yang menyatakan bahwa Presiden Indonesia harus Muslim juga dihapus.
Setelah usulan ini diterima, PPKI menyetujui Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pada hari yang sama, dan tujuh kata pun secara resmi dihapus. Perwakilan Bali I Gusti Ketut Pudja juga mengusulkan agar ” Allah ” diganti dengan “Tuhan”. Usulan tersebut diterima, tetapi saat konstitusi resmi dipublikasi, perubahan tersebut tak dilakukan.
Tidak diketahui secara pasti mengapa PPKI menyetujui usulan Hatta tanpa adanya perlawanan dari golongan Islam. Di satu sisi, komposisi anggota PPKI sangat berbeda dengan BPUPK: hanya 12% anggota PPKI yang berasal dari golongan Islam (sementara di BPUPK terdapat 24%).
- Dari sembilan penandatangan Piagam Jakarta, hanya tiga yang hadir dalam pertemuan tanggal 18 Agustus.
- Etiga orang itu pun bukan berasal dari golongan Islam; Hasjim yang datang dari Surabaya baru tiba di Jakarta pada 19 Agustus.
- Di sisi lain, Indonesia pada masa itu tengah terancam oleh kedatangan pasukan Sekutu, sehingga yang menjadi prioritas adalah pertahanan nasional dan upaya untuk memperjuangkan aspirasi golongan Islam dapat ditunda hingga situasinya memungkinkan.
Keputusan untuk menghapus tujuh kata mengecewakan golongan Islam. Hadikoesoemo mengungkapkan kemarahannya dalam pertemuan Majelis Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa hari setelah sidang PPKI selesai. Golongan Islam juga merasa semakin tidak puas setelah PPKI pada tanggal 19 Agustus menolak usulan untuk mendirikan Kementerian Agama,
Siapakah tokoh penting yang memberikan ide penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta?
Sumber: – Gunawan Budiyanto dkk (ed.), Konstruksi Pemikiran Politik Ki Bagus Hadikusumo: Islam, Pancasila, dan Negara (Yoyakarta: UMY, 2018), 5-8.R.M.A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004).
Siapa nama tokoh yang keberatan dengan sila pertama?
Keberatan J Latuharhary dan perubahan sila pertama Pancasila – Seorang tokoh dari Indonesia Timur, Johannes Latuharhary, menyampaikan keberatan terhadap sila pertama dalam rumusan Pancasila yang memuat kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Siapa tokoh yang keberatan dengan sila pertama?
Berdasarkan penjelasan di atas maka jawabannya adalah Ki Bagus Hadikusumo.
11 Siapakah tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam peristiwa Piagam Jakarta?
Muhammadiyah dan Pancasila: Ki Bagus Hadikusuma dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa – Universitas Muhammadiyah Purwokerto Muhammadiyah dan Pancasila: Ki Bagus Hadikusuma dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Jumat 7 Agustus 2020 Berita Muhammadiyah Oleh: Mu’arif Muhammadiyah dan Pancasila tidak bisa dipisahkan.
- Masing-masing dihubungkan oleh berbagai peristiwa penting hingga menjelang detik-detik sidang terakhir PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945.
- Momen bersejarah bagi Indonesia, sebab berkaitan langsung dengan perumusan UUD 1945, struktur pemerintahan dan konsolidasi nasional pertama.
Peran Muhammadiyah selama era ini tidak pelak lagi diperantarai oleh Ketua Umum PB Muhammadiyah, yakni Ki Bagus Hadikusuma dan seorang kader Muhammadiyah bernama Kasman Singodimejo. Selain itu, Bung Karno atau Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, dan Prof.
- Abdul Kahar Muzakkir, serta Sukiman Wiryosanjoyo merupakan anggota Muhammadiyah.
- Peran Ki Bagus Hadikusuma selama masa penyesuaian ulang Piagam Jakarta menjadi Pancasila sangat besar.
- I Bagus Hadikusuma, merupakan tokoh Islam yang sangat penting selama masa konsolidasi konstitusi Indonesia.
- Ia setidaknya terlibat dalam dua hal selama menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI.
Pertama, berkaitan dengan wacana “negara berdasarkan ajaran Islam”, yakni tawaran negara yang mengadopsi nilai-nilai Islam bersama perwakilan muslim lainnya. Kedua, berkaitan dengan perumusan Piagam Jakarta dan Pancasila. Memperjuangkan konsep “negara berdasarkan ajaran Islam” adalah upaya konstitusional pertama untuk mempraktikkan politik Islam.
- Meski tidak bisa dilakukan karena Ki Bagus Hadikusuma dan pemimpin organisasi Islam serta Masyumi lainnya memaklumi pentingnya nilai keragaman, misi ini tetap berhasil sebagai etika publik Islam yang toleran, moderat dan inklusif.
- Berkaitan dengan itu, Ki Bagus Hadikusuma juga berperan penting menentukan narasi sila pertama dalam Pancasila.
Perjuangan Politik Islam Ki Bagus Hadikusuma Perdebatan seputar negara Islam dan Negara Modern ( modern-state ) telah dimulai sejak digelarnya sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
- Gagasan yang mengemuka adalah seputar pembentukan negara berdasarkan agama (Islam) atau yang dikenal dengan istilah Darul Islam (istilah sejenis Darus-salam ) dan negara sekuler.
- Sebagaimana diketahui, usulan konsep negara Islam yang diajukan oleh kelompok muslim dan perwakilan organisasi Islam ditolak oleh otoritas pemerintah Jepang yang tergabung dalam keanggotaan BPUPKI.
Penolakan tersebut menstimulasi kemunculan dua kubu penting selama masa perdebatan “negara Islam” vis a vis “negara nasionalis-sekuler.” Perbedatan itu juga telah menghadirkan kontestasi ideologi dalam BPUPKI dan PPKI, yakni antara kubu kelompok muslim (baik dari spektrum modernis dan tradisionalis) dan kubu nasionalis (sebagian juga melibatkan politisi muslim, nasionalis, komunis, dan republik).
- Soekiman Wiryosanjoyo, Ki Bagus Hadikusuma, Prof.K.H.A.
- Ahar Muzakkir, K.H.A.
- Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso, Mr.
- Ahmad Subarjo, Agus Salim, dan sejumlah nama lainnya merupakan tokoh, politisi dan figur yang mewakili kelompok Muslim dalam sidang-sidang BPUPKI.
- Salah satu proposal politik yang diajukan adalah konsep “negara Islam” ( Dar al-Islam ), rumusan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (Piagam Jakarta), dan konsep kepemimpinan Islam.
Sidang-sidang BPUPKI antara tanggal 29 April hingga tanggal 7 Agustus setidak-tidaknya telah menyepakati Pernyataan Indonesia Merdeka, Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945. Pembubaran BPUPKI yang diiringi dengan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) langsung menggelar sidang-sidang maraton pada tangga 7 hingga 19 Agustus.
- Eanggotaan PPKI ditambah 6 (enam) orang anggota baru tanpa sepengetahuan pemerintah Jepang.
- Dari anggota tambahan tersebut terdapat satu tokoh yang dipandang merepresentasikan kelompok Muslim modernis, yakni Mr.
- Asman Singodimedjo (Hadikusuma, Aliran Pembaharuan, h.102). Mr.
- Asman Singodimedjo adalah tokoh yang menjadi juru kunci pemecah kebuntuan dialog antara kelompok Muslim dengan Nasionalis pada detik-detik akhir sidang-sidang PPKI yang menghendaki penghapusan “7 (tujuh) kata” dalam Piagam Jakarta ( Jakarta Charter ) (Hadikusuma, Aliran Pembaharuan, h.103).
Kegigihan Kasman meyakinkan Ki Bagus Hadikusuma untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta sebenarnya merupakan suatu bentuk afirmasi terhadap konsep Dasar Negara Indonesia tanpa harus memasukkan ajaran Islam secara formal-eksplisit. Inilah bentuk “kesepakatan bersama” (konsensus)—yang dalam bahasa Kasman disebut sebagai gentlemen’s agreement —dari para pendiri bangsa, terutama dari kelompok Muslim(S.U.
- Bajasut & Lukman Hakiem, Alam Pikiran, h.210).
- Esepatakan menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta menunjukkan bahwa visi Negara yang baru lahir itu bukan “negara agama” yang berdasarkan Pancasila, sekaligus juga bukan “negara sekuler” yang memisahkan agama dalam kehidupan politik-kenegaraan.
- Meski demikian, sebagaimana tampak adanya, ajaran-ajaran Islam tetap diakomodasi dalam sistem konstitusi negara, dan umat Islam dijamin kebebasan untuk menjalankan ajaran agama Islam.
Sidang-sidang PPKI setidak-tidaknya telah menghasilkan beberapa keputusan penting: (1) Pengesahan UUD 45; (2) Memilih Ir Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden; (3) Membentuk 12 Kementerian dan 4 Menteri Negara; (4) Membentuk pemerintahan daerah yang terdiri dari 8 propinsi.
Polemik Piagam Jakarta dan Pancasila Perdebatan seputar Negara Islam secara otomatis menghendaki masuknya sumber ajaran Islam ke dalam sistem konstitusi negara. Setelah penolakan konsep Negara Islam, maka strategi perjuangan para tokoh muslim di forum BPUPKI dan PPKI mulai diarahkan untuk memasukkan unsur-unsur ajaran Islam ke dalam sistem konstitusi nasional.
Remy Madinier (2013) melukiskan perdabatan keras dan alot tersebut sebagai berikut: “Di balik jalan-jalan pintas yang memudahkan, upaya pemahaman historis hubungan Islam dengan politik merupakan suatu pekerjaan panjang yang melelahkan.”Terutama dinamika politik kenegaraan pada fase pembentukan dasar negara Republik Indonesia dalam sidang-sidang maraton yang diselenggarakan oleh BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945.
- Perdebatan tentang konsep negara Islam dan sistem konstitusi negara yang berdasarkan Islam melibatkan tokoh-tokoh Muslim, baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis.
- Mengenai konsep-konsep awal yang ditawarkan para tokoh nasional dalam rumusan Pancasila tidak akan dibahas di sini.
- Akan tetapi, rumusan awal yang diajukan Bung Karno pada 1 Juni 1945, dengan susunan dan sistematika yang berbeda, pada akhirnya menjadi kesepakatan bersama ( consensus ) yang dikenal dengan Piagam Jakarta.Pada mulanya, kelompok Islam baik tradisionalis dan modernis menghendaki masuknya doktrin pokok Islam, yaitu “tauhid” (ajaran mengenai keesaan Tuhan dalam Islam) dan seruan menjalankan “syariat Islam” bagi umat muslim, harus masuk ke dalam sila utama sehingga menjadi “urat punggung” seluruh sila dalam Pancasila.
Penambahan redaksional tersebut menyebabkan sila pertama berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ” —kemudian dikenal dalam kajian historis dengan istilah “tujuh kata.” Adapun rumusan Pancasila versi awal yang menjadi perdebatan pada waktu itu sebagai berikut:
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kemanusiaan yang adil dan beradab Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Kasman Singodimedjo memiliki peran strategis dalam proses mediasi antara kelompok muslim yang teguh menghendaki masuknya Islam dalam sistem konsitusi negara dengan kelompok nasionalis yang berusaha mengakomodir kepentingan non-muslim. Setelah konsep “Negara Islam Indonesia” ditolak, baik oleh otoritas pemerintah Jepang maupun kelompok nasionalis, maka rumusan “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam sila pertama Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 menjadi kekuatan konseptual yang akan mewarnai sistem konsitusi nasional (Madinier, 2013).
- I Bagus Hadikusuma, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah, merupakan anggota PPKI yang menghendaki dimasukkannya persuasi kewajiban menjalankan syariat Islam dalam sistem konstitusi negara.
- I Bagus Hadikusuma merupakan figur kharismatik yang disegani oleh kalangan muslim dan kalangan nasionalis ( Suara Muhammadiyah, No.17-18/Th ke-48/September 1968, h.25-26).
Itu juga barangkali yang menyebabkan Soekarno dan Mohammad Hatta segan meyakinkan Ki Bagus Hadikusuma secara langsung untuk menghapus “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta. Panitia Sembilan akhirnya mengirim utusan khusus, Mr. Teuku Muhammad Hasan, yang bertanggung jawab meyakinkan Ki Bagus (Hadikusuma, Aliran Pembaharuan, h.104-105).
Tetapi proses negosiasi tidak berjalan mulus, Ki Bagus Hadikusuma masih keberatan jika “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta dihapus. Sebetulnya sikap Ki Bagus Hadikusuma mudah dipahami. Bagaimana pun, Piagam Jakarta sebelumnya adalah kesepakatan bersama ( gentlemen’s agreement ), dan sudah siap diputuskan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Ki Bagus Hadikusuma memegang komitmennya untuk tidak mengubah kesepatan bersama sejak awal. Selain itu, jelas bagi Ki Bagus Hadikusuma, tidak semua Panitia Sembilan terlibat dalam perubahan redaksional Piagam Jakarta. Ketika debat mengalami jalan buntu, dalam jeda waktu yang tersisa, Kasman Singodimedjo berhasil membujuk Ki Bagus Hadikusuma.
Kasman Singodimedjo punya kedekatan ideologis dengan Ki Bagus Hadikusuma karena memang ia tercatat sebagai anggota dan sekaligus kader Muhammadiyah. Kegigihan dan argumentasi logis Kasman berhasil meyakinkan Ki Bagus Hadikusuma agar menerima usul penghapusan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta. Selain faktor kapasitas individu Kasman Singodimedjo, faktor kedekatan ideologis, yaitu hubungan antara keduanya sebagai kader Muhammadiyah, turut menyukseskan proses negosiasi yang cukup alot.
Tercapainya kesepakatan bersama dalam rumusan Pancasila seringkali disebut oleh banyak pengamat belakangan ini sebagai “hadiah terbesar” umat Islam untuk bangsa Indonesia. (Hadikusuma, Aliran Pembaharuan h.104-105). “Kompromi politik”—meminjam istilah Kasman Singodimedjo—untuk menyebut tercapainya consensus dalam penyusunan Pancasila sebenarnya merupakan suatu tahapan awal dari proses perjuangan merebut tafsir atas pemahaman dan implementasi setiap sila dalam Pancasila berdasarkan ajaran Islam.
- Partai Masyumi—yang berafiliasi dengan Muhammadiyah—paling getol mengisi tafsir Pancasila berdasarkan ajaran Islam.
- Sikap Pengurus Besar (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah sejalan dengan visi Partai Masyumi dalam perumusan dan tafsir atas sila-sila dalam Pancasila.
- Proses politik di parlemen yang diperankan Partai Masyumi dan didukung oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah terus mengalami pasang surut—sebab partai-partai lain dalam posisi yang berhadapan dengan partai ini, khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Ki Bagus Hadikusuma dan “Ketuhanan yang Maha Esa” Menurut informasi dari Djarnawi Hadikusuma, Ki Bagus Hadikusuma bersedia kompromi dengan syarat bahwa redaksi “Ketuhanan” dilengkapi menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan menjadi sila pertama. “Ketuhanan Yang Maha Esa” tiada lain adalah bentuk afirmasi konsep tauhid dalam bentuk yang lebih mudah diterima kelompok nasionalis dan Kristen.
- Tapi alasan utama mengapa sikap Ki Bagus Hadikusuma melunak, karena ia melihat bangsa yang baru merdeka tersebut membutuhkan kepercayaan diri untuk tampil bangkit sebagai bangsa yang bebas dari kolonialisme.
- Selain, Ki Bagus Hadikusuma melihat bahwa umat Islam di Indonesia masih dapat memperjuangkan kepentingan keagamaannya melalui jalan konstitusi.
Penerimaan Ki Bagus Hadikusuma pada perubahan redaksional “tujuh kata” berpengaruh pada suasana dan kondisi yang sempat tegang selama beberapa waktu. Penerimaan itu pula telah mempermudah rapat sidang resmi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sidang terakhir PPKI menerima dengan suara bulat perubahan redaksional Piagam Jakarta.
- Sebagaimana diketahui, rumusan akhir Pancasila sebagai berikut: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Proses perubahan redaksional ini telah menjadi peristiwa penting bagi keberhasilan pendiri bangsa mempraktikkan jiwa bangsa yang siap merdeka, menerima perbedaan dan mengedepankan kepentingan hidup bersama sebagai bangsa yang mendambakan kebebasan dari kolonialisme.
Peran Ki Bagus Hadikusuma selama proses perumusan Pancasila merupakan bukti bahwa umat Islam terlibat partisipatif pada masa konsolidasi kebangsaan pertama. Bagi Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusuma merupakan teladan praktik hidup berbangsa. Ia telah memberika petunjuk bagaimana mengamalkan Islam dalam kerangka kehidupan berbangsa dengan komunitas majemuk.
Mengapa para tokoh dari Indonesia bagian timur merasa keberatan dengan salah satu kalimat yang ada dalam naskah Piagam Jakarta?
mengapa tokoh tokoh indonesia timur merasa keberatan dengan bunyi sila pertama pancasila pada Karena pada sila pertama dalam piagam jakarta tersebut berarti hanya ditujukan untuk umat islam saja, sedangkan rakyat Indonesia tidak hanya umat islam saja. Karna mereka bukan agama islam mungkin : mengapa tokoh tokoh indonesia timur merasa keberatan dengan bunyi sila pertama pancasila pada
Apa peranan Ki Bagus Hadikusumo berkaitan dengan Pancasila?
Pada tanggal 18 Agustus 1945 sebelum sidang PPKI dimulai Ki Bagus Hadikusumo menjadi tokoh yang memiliki andil sangat besar dalam menjaga keutuhan bangsa terutama didalam perubahan Sila Pertama dalam Piagam Jakarta, sehingga menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, sekaligus disahkan oleh anggota PPKI pada tanggal 18 Agustus
4 Siapakah tokoh yang memberi nama Piagam Jakarta?
Tokoh perumus Piagam Jakarta – Piagam Jakarta adalah hasil kompromi mengenai dasar negara Indonesia antara golongan nasionalis dengan golongan Islam. Dalam sidang pertama, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung dari 29 Mei-1 Juni 1945, terjadi perdebatan antara golongan nasionalis dan tokoh-tokoh Islam.
Penetapan bentuk pemerintahan yang dilakukan BPUPKI dengan cara pemungutan suara menghasilkan 45 suara dari golongan nasionalis yang tidak mau membawa agama ke dalam masalah pemerintahan. Sedangkan 15 suara yang diwakili tokoh Islam, setuju bahwa Islam menjadi dasar filosofis negara Indonesia. Hingga akhir sidang BPUPKI pertama, masalah tersebut belum terpecahkan dan tidak diperoleh kesepakatan tentang rumusan dasar negara.
Oleh karena itu, para tokoh sepakat dibentuk Panitia Sembilan, yang menjadi perantara golongan nasionalis dan Islam. Baca juga: Piagam Jakarta: Isi dan Kontroversinya Mereka bertugas untuk mengumpulkan sekaligus menyelidiki usul-usul mengenai perumusan dasar negara, yang akan dibahas dalam sidang BPUPKI kedua.
Ketua: Soekarno Wakil: Moh Hatta Anggota: Achmad Soebardjo Anggota: Mohammad Yamin Anggota: KH Wahid Hasyim Anggota: Abdul Kahar Muzakir Anggota: Abikoesno Tjokrosoejoso Anggota: Agus Salim Anggota: AA Maramis
Rumusan dasar negara dari Panitia Sembilan kemudian dijadikan preambule atau pembukaan UUD 1945. Rancangan pembukaan UUD 1945 inilah yang disebut Piagam Jakarta, yang disetujui pada 22 Juni 1945. Mohammad Yamin adalah tokoh yang mengusulkan nama Piagam Jakarta pada 10 Juli 1945, atau pada Sidang BPUPKI kedua yang diselenggarakan antara 10-17 Juli 1945.
Siapa yang mengusulkan rancangan menjadi Piagam Jakarta?
Sejarah Piagam Jakarta – Sejarah piagam Jakarta tidak terlepas dari masa pendudukan Jepang saat perang dunia kedua. Perang dunia kedua membuat Jepang kewalahan. Kala itu, Jepang harus berurusan dengan lawan yang tangguh, yaitu Amerika Serikat. Untuk menghindari kekalahan, berbagai upaya dilakukan Jepang untuk mendapatkan dukungan dan hati rakyat Indonesia, salah satunya adalah menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia.
- Sebagai langkah konkret dari perjanjian itu, dibentuklah Dokuritsu Junbi Cosakai atau disebut juga dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
- Badan ini bertugas untuk menetapkan dasar negara Indonesia dan merumuskan undang-undang dasarnya.
- Pada 1 Maret 1945, Jepang mengumumkan berdirinya BPUPKI dengan 63 anggota.
Dalam sidang perdana di 29 Mei 1945, Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat selaku ketua BPUPKI bertanya dalam bahasa Jawa, “Indonesia merdeka mengkemeniko dasaripun menopo? ” yang artinya, “Indonesia merdeka nanti dasarnya apa?”
- Berangkat dari satu pertanyaan ini, maka BPUPKI melakukan sidang besar yang berlangsung dari 29 Mei – 1 Juni 1945 untuk menentukan dasar negara.
- Terdapat tiga tokoh yang mengajukan gagasan dasar negara, mereka adalah Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.
- Muhammad Yamin pada 29 Mei 1945 membuat rumusan sebagai berikut:
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri Ketuhanan
- Peri Kerakyatan: (1) Permusyawaratan, (2) Perwakilan, (3) Kebijaksanaan
- Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial)
Dua hari kemudian, tepatnya 31 Mei 1945, Soepomo membuat rumusan sebagai berikut:
- Persatuan (Persatuan Hidup)
- Kekeluargaan
- Keseimbangan lahir batin
- Musyawarah
- Semangat gotong royong (keadilan sosial)
Sedangkan rumusan yang dibuat oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 adalah sebagai berikut:
- Nasionalisme (kebangsaan Indonesia)
- Internasionalisme (Peri Kemanusiaan)
- Mufakat (demokrasi)
- Kesejahteraan Sosial
- Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan yang Berkebudayaan)
Gagasan yang diberikan pada saat itu tidak langsung mendapat persetujuan dari seluruh anggota BPUPKI karena terdapat perbedaan yang mencolok antara dua buah kubu. Sebuah kubu dalam persidangan yang berisikan 15 orang golongan Islam (religius) menginginkan Indonesia berdasarkan syariat Islam, sementara 47 orang golongan nasionalis menginginkan Indonesia berasaskan semangat sekularisme dan kebangsaan.
- Dikarenakan pembahasan dasar negara belum mencapai mufakat, maka diputuskanlah sebuah komite khusus untuk menyelesaikan perselisihan dalam sidang.
- Omite ini disebut dengan Panitia Sembilan.
- Panitia Sembilan bertugas menyusun naskah rancangan yang akan digunakan dalam pembukaan hukum dasar negara yang kemudian disebut sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta Charter,
Tokoh yang mengusulkan nama Piagam Jakarta adalah Muhammad Yamin. Piagam Jakarta dirumuskan oleh Panitia Sembilan yang anggotanya adalah:
- Soekarno – tokoh nasionalis
- Mohammad Hatta – tokoh nasionalis
- Achmad Soebardjo – tokoh nasionalis
- Mohammad Yamin – tokoh nasionalis
- A.A. Maramis – tokoh nasionalis
- Wahid Hasjim – tokoh Nahdlatul Ulama
- Abdoel Kahar Moezakir – Muhammadiyah
- Abikusno Tjokrosoejoso – Partai Sarekat Islam Indonesia
- Haji Agus Salim – mantan tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia dan pendiri Pergerakan Penyadar
Sembilan tokoh yang dipimpin oleh Soekarno ini akhirnya berhasil merumuskan lima sila dalam Piagam Jakarta:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Tokoh ini sudah sejak awal setuju penghilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta untuk diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa bagaimana?
Kasman Singodimedjo dan Penghapusan 7 Kata Piagam Jakarta Kasman Singodimedjo. Foto: Wikimedia Commons Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahi gelar kepada enam tokoh pejuang, salah satunya, Kasman merupakan salah satu tokoh yang merumuskan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
- Dikutip dari berbagai sumber, Rabu (8/11/2018), Kasman lahir di Purworejo pada 25 Februari 1904 dan wafat pada 25 Oktober 1982.
- Semasa muda Kasman aktif menjadi anggota organisasi Jong Islamieten Bond, salah satu peserta Kongres Pemuda tahun 1928.
- Asman juga merupakan Komandan PETA (Pembela Tanah Air) Jakarta.
ADVERTISEMENT SCROLL TO RESUME CONTENT Ketika menjadi Komandan PETA Jakarta, Kasman bertugas mengamankan pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan RI. Dia juga dikenal sebagai seorang tokoh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).Dia memiliki latar belakang pendidikan di bidang hukum dari Recht Hoge School Jakarta.
Kemampuannya di bidang hukum ini di kemudian hari membawanya menjadi Jaksa Agung setelah Indonesia merdeka.Kasman Singodimedjo masuk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam buku Negara Paripurna yang ditulis oleh Yudi Latif, adalah Sukarno yang memasukkan nama Kasman dalam kepanitian itu.PPKI didirikan pada 12 Agustus 1945 setelah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) melaksanakan tugasnya menetapkan dasar Indonesia merdeka.
Pancasila yang dikemukakan Sukarno pada 1 Juni 1945 kemudian disusun sehingga menjadi Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945.PPKI bersidang pertama kali pada 18 Agustus 1945, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Sukarno dan Hatta. Masuknya Kasman ke PPKI menambah proporsi golongan Islam dalam kepanitiaan tersebut.PPKI, menurut Yudi Latif dalam bukunya, waktu itu sudah mengesahkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945.
- Sehingga masih ada 7 kata pada sila satu Pancasila yakni ‘.
- Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
- Etujuh kata itu mengikuti kata ‘Ketuhanan’.Adalah Mohammad Hatta yang pada waktu itu mendekati tokoh-tokoh Islam agar mengganti ketujuh kata tersebut menjadi ‘Yang Maha Esa’ demi persatuan bangsa.
Penghapusan ketujuh kata itu juga merupakan permintaan perwakilan Indonesia bagian timur.Pada catatan kaki di buku tulisan Yudi Latif, Kasman berupaya meyakinkan golongan Islam, termasuk Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa persatuan lebih penting. Sehingga akhirnya tercapailah mufakat untuk menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta dan menggantinya jadi berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Tokoh yang mendatangi naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik ditunjukkan?
Piagam ini disusun karena wilayah Jakarta yang agung, meliputi 5 kota dan satu kabupaten, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Kepulauan Seribu, Oleh karenanya, provinsi DKI Jakarta diwujudkan dengan piagam tersebut dan menetapkan Soewirjo sebagai gubernur DKI Jakarta yang pertama sampai 1947,
Sembilan tokoh tersebut yaitu Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Sir A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Sir Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Sir Muhammad Yamin, BPUPKI diwujudkan 29 April 1945 sebagai realisasi janji Jepang untuk memberi kemerdekaan pada Indonesia.
- Prosesnya dilantik 28 Mei 1945 dan persidangan pertama dilakukan keesokan harinya sampai dengan 1 Juni 1945.
- Sesudah itu diwujudkan panitia kecil (8 orang) untuk merumuskan gagasan-gagasan tentang dasar-dasar negara yang dilontarkan oleh 3 pembicara pada persidangan pertama.
- Dalam masa reses terbentuk Panitia Sembilan.
Panitia ini menyusun naskah yang semula dimaksudkan sebagai teks proklamasi kemerdekaan, namun belakangnya menjadi Pembukaan atau Mukadimah dalam UUD 1945. Naskah inilah yang disebut Piagam Jakarta. Piagam Jakarta mengandung garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme, serta memulai dasar pembentukan Negara Republik Indonesia.
“ | Bahwa sesoenggoehnja kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh karena itu karenanya pendjadjahan di atas doenia haroes dihapoeskan, karena tidak sesoeai dengan peri-kemanoesiaan dan peri-keadilan. Dan perdjoeangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah untuk ketika jang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan Rakjat Indonesia ke-depan pintoe-gerbang Negara Indonesia, jang merdeka, bersatoe, berdaoelat, tidak berat sebelah dan makmoer. Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Koeasa, dan dengan didorongkan oleh hasrat jang loehoer, soepaja berkehidoepan kebangsaan jang lepas sama sekali, karenanya Rakjat Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaannja. Kemudian daripada itoe, oentoek membentoek suatoe Pemerintah Negara Indonesia jang melindoengi segenap Bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah darah Indonesia, dan untuk memadjoekan kesedjahteraan oemoem, mentjerdaskan kehidoepan bangsa, dan ikoet menerapkan ketertiban doenia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian tidak berkesudahan dan keadilan sosial, karenanya disoesoenlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itoe dalam suatu Hoekoem Dasar Negara Indonesia, jang terbentoek dalam suatu susunan negara Repoeblik Indonesia jang berkedaoelatan Rakjat, dengan berdasar kepada:
Ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam untuk pemeloek2-nja* Kemanoesiaan jang tidak berat sebelah dan beradab Persatoean Indonesia Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat, kebidjaksanaan dalam permoesjarawaratan/perwakilan Keadilan sosial untuk seloeroeh Rakjat Indonesia. Djakarta, 22-6-2605 Panitia Sembilan Ir. Soekarno Mohammad Hatta Sir A.A. Maramis Abikusno Tjokrosujoso Abdul Kahar Muzakir H. Agus Salim Sir Achmad Subardjo Wahid Hasyim Sir Muhammad Yamin, |
“ |
Keterangan : * Kalimat tebal pada teks adicita yang pertama menunjukkan perdebatan, terutama warga Indonesia yang beragama di luar Islam. Mereka menentang kalimat tersebut, dan jika kalimat itu dipakai karenanya mereka hendak keluar dari Indonesia, sehingga ditukar dengan kalimat : “Ketuhanan Yang Maha Esa” ) Pada ketika penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta menjadi Muqaddimah ( preambule ).
Kemudian pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD, Butir pertama yang mengandung kewajiban menjalankan Syariat Islam untuk pemeluknya, ditukar menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs.M. Hatta atas usul A.A. Maramis sesudah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo,
Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin,
Mengapa para tokoh Islam menyetujui perubahan isi dari sila pertama yang ada di Piagam Jakarta?
Piagam Jakarta yang disepakati pada 22 Juni 1945 menghasilkan 5 sila dasar negara. Kelima sila tersebut meliputi ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Dalam perkembangannya, sila pertama mendapat kritik dari sejumlah pihak, terutamapara tokoh Indonesia bagian Timur atas pemakaian kata-kata tersebut, sebab berarti rumusan itu tidak berlaku bagi pemeluk agama lain.
- Menanggapi hal tersebut dan untuk menghindari perpecahan.
- Akhirnyadalam sidang PPKI I, sila pertama Piagam Jakarta diubah menjadi “Ketuhanan yang maha Esa” dan Pancasila resmi ditetapkan sebagai dasar negara.
Dengan demikian, perubahan dalam sila pertama disebabkan sila pertama dianggap tidak berlaku untuk pemeluk agama lainnya dan mendapatkan banyak kritik terutama dari tokoh-tokoh Indonesia Timur, sehingga sila pertama dirubah untuk menghargai perjuangan dariseluruh golongantidak hanya Islam saja dan untuk menghindarkan terjadinya pepecahan.
Piagam Jakarta yang disepakati pada 22 Juni 1945 menghasilkan 5 sila dasar negara. Kelima sila tersebut meliputi ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam perkembangannya, sila pertama mendapat kritik dari sejumlah pihak, terutama para tokoh Indonesia bagian Timur atas pemakaian kata-kata tersebut, sebab berarti rumusan itu tidak berlaku bagi pemeluk agama lain. Menanggapi hal tersebut dan untuk menghindari perpecahan.
Siapa nama tokoh perwakilan dari Indonesia timur yang menyampaikan keberatan sehingga bunyi sila 1 berubah?
Johannes Latuharhary adalah tokoh yang berasal dari timur dan menjadi orang yang keberatan dengan sila pertama yang telah dibentuk, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya dan diubah hanya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Siapa saja yang di ajak Moh Hatta untuk mengadakan suatu rapat pendahuluan sebelum sidang PPKI di mulai?
Bung Hatta dalam Merevisi Sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” –
Posted by Rektorat Pageviews 389846 times
Pada masa Orde Baru, Pancasila ditanamkan dengan dogmatis dan juga difungsikan untuk membungkam pihak-pihak yang mengkritik pemerintah saat itu, meskipun para pengkritik tersebut tidak ada hubungannya dengan paham anti-Pancasila. Semenjak jatuhnya Orde Baru, penggunaan Pancasila sebagai tameng rejim sudah tidak terjadi lagi.
- Masyarakat Indonesia menikmati kebebasan dalam berpendapat termasuk kebebasan untuk mengkritik pemerintah yang pada masa Orde Baru mengkritik biasanya akan berakhir dengan kurungan penjara atau kekerasan.
- Seriring dengan era kebebasan, pengajaran dogma Pancasila melalui Penataran P4 juga dihentikan yang secara relatif menimbulkan “kekosongan ideologi” pada generasi muda oleh karena pengajaran Pancasila yang sebelumnya dogmatis tersebut tidak digantikan oleh metode lain yang lebih komunikatif dan substantif.
Pada saat yang bersamaan Indonesia menghadapi derasnya arus informasi dari seluruh dunia melalui internet. Berbagai jenis paham (termasuk paham radikal keagamaan) berseliweran dan berinteraksi dengan kalangan muda yang mengalami kekosongan ideologi. Meminjam istilah Melluci, mereka adalah pengembara-pengembara identitas yang mencari jati dirinya dalam pilihan-pilihan identitas yang dibawa oleh internet terutama melalui media sosial.
Pembentukan identitas kelomopok radikal itu akan semakin kuat jika mereka bertemu dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang serupa. Kelompok-kelompok radikal keagamaan tersebut menganut apa yang disebut oleh Melluci sebagai monisme totaliter yang memandang bahwa paham mereka adalah satu-satu paham yang akan membawa kebaikan.
Orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dianggap sebagai manusia yang derajatlah lebih rendah. Kelompok-kelompok radikal ini ikut menunggangi kontestasi Pilkada DKI Jakarta di tahun 2017 yang diwarnai oleh penggunaan isu SARA secara masif pada level akar rumput untuk menjatuhkan kandidat tertentu.
- Ujaran-ujaran kebencian diutarakan untuk merendahkan kandidat yang memiliki latar belakang agama dan etnis tertentu.
- Fenomena tersebut mengajak kita untuk mengingat kembali kesepakatan-kesepakatan dasar dari para pendiri bangsa ketika mereka sepakat untuk mendirikan NKRI.
- Memandang rendah derajat orang lain yang memiliki suku, agama, dan ras yang berbeda tentu saja pengingkaran yang serius terhadap dasar dari yang paling dasar kesepakatan pendirian republik yaitu kesetaraan dan kebersamaan.
Menurut Bung Karno, lima sila dari Pancasila jika diperas menjadi satu maka ia menjadi Eka Sila yaitu Gotong-Royong. Menurut Bung Karno, ” Gotong Royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.
Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama. Itulah gotong-royong! ” Kekosongan ideologis akibat lemahnya pembumian Pancasila oleh apparatus sosial juga memunculkan kelompok-kelompok yang memunculkan kembali gagasan dasar negara dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang sila pertamanya berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Rumusan sila pertama itu kemudian diubah melalui sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi rumusan Pancasila yang seperti yang tercantum dalam UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, masih terdapat kelompok-kelompok yang dengan lantang dan terbuka ingin kembali pada gagasan Piagam Jakarta.
- Elompok-kelompok ini mengambil sebagian potongan dalam sejarah dan kemudian memaknai sendiri dengan bias kepentingan dan monisme totaliternya sehingga makna sejarah yang sesungguhnya tidak mereka indahkan, bahkan mungkin tak terlihat oleh mereka.
- Memang benar bahwa Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 telah ditandatangan oleh BPUPKI yang dipimpin oleh Soekarno.
Pada saat itu sila “Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak dianggap sebagai diskriminasi oleh karena hanya mengikat bagi pemeluk agama Islam. Bahkan anggota BPUPKI yang beragama Kristen yaitu A.A. Maramis tidak berkeberatan dengan sila tersebut.
- Namun yang dipikirkan oleh anggota BPUPKI tersebut tidak sama dengan yang pikirkan oleh kalangan masyarakat yang bergama lain.
- Adalah seorang perwira utusan Angkatan Laut Jepang yang bertemu Bung Hatta pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945.
- Perwira itu menyampaikan bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katolik yang berada dalam wilayah kekuasaan Angkatan Laut Jepang sangat berkeberatan dengan bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Mereka sadar bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, namun dengan mencantumkan ketetapan seperti itu dalam pembukaan dan dasar berdirinya suatu negara merupakan “diskriminasi” terhadap mereka golongan minoritas. Dalam buku autobiografi Bung Hatta disebutkan bahwa jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
- Bung Hatta adalah negarawan yang memiliki keterampilan memahami yang sangat baik.
- Horizonnya terhadap sila dalam Piagam Jakarta tersebut berdialog dengan horizon yang dimiliki oleh wakil-wakil dari umat Protestan dan Katolik dan kemudian menghasilkan yang disebut oleh ahli hermeneutik Gadamer, sebagai fusi horizon.
Horizon dari Bung Hatta bersifat terbuka sehingga ia membuka diri terhadap berbagai kemungkinan makna yang muncul dan berbagai kemungkinan akibat yang muncul di kemudian hari. Keterbukaan horizonnya itu membuatnya melihat makna yang sebelumnya tidak terlihat.
- Dalam autobiografinya, Hatta menyatakan bahwa kalau Indonesia tidak bisa bersatu, maka bisa dipastikan daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera (tempat domisili penduduk non-Muslim) akan kembali dikuasai oleh Belanda.
- Tak lama waktu yang diperlukan oleh Hatta untuk memahami kekhawatiran dari kelompok-kelompok minoritas tersebut.
Ia memutuskan untuk membahas masalah tersebus pada sidang PPKI keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebelum sidang dimulai, Hatta mengadakan pertemuan pendahuluan dengan 5 anggota PPKI lainya yaitu Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr.
- Teuku Hasan.
- Pertemuan itu menyepakati untuk mengganti kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
- Rapat pendahuluan atas inisiatif Hatta itu menyetujui bahwa peraturan dalam kerangka syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat diajukan sebagai rancangan undang-undang ke DPR, yang jika diterima oleh DPR maka mengikat umat Islam Indonesia.
Rapat itu juga menyepakati bahwa hukum nasional berlaku untuk semua warga negara. Perbedaan hukum antara penduduk yang beragama Islam atau beragama Kristen akan terdapat terutama dalam bidang hukum keluarga. Dalam bidang hukum perdata lainnya seperti hukum perniagaan dan hukum dagang, berlaku hukum yang setara untuk semua penduduk.
Ketika memasuki sidang pleno PPKI, usulah perubahan yang telah disetujui oleh 5 orang tadi dalam rapat pendahuluan sebelum sidang resmi, kemudian disetujui oleh sidang lengkap dengan suara bulat. Inisiatif dari Bung Hatta itu dapat dikatakan menjaga semangat inti sari dari Pancasila yaitu Gotong Royong seperti yang diutarakan oleh Sukarno.
Dalam semangat kesetaraan dan kebersamaan, Hatta berjasa dalam memahami kehendak dari berbagai golongan masyarakat dan sehingga akhirnya dapat menghadirkan hukum publik yang bersifat nasional yang berlaku untuk seluruh penduduk. Kesetaraan hukum nasional itu tidak memandang mayoritas dan minoritas.
Semangat dari pada pendiri bangsa dalam menyepakati nilai-nilai kesetaraan dan kebersamaan kini mendapat ancaman dari kelompok-kelompok yang memandang kelompok masyarakat lain sebagai warga yang statusnya lebih rendah sehingga harus dicaci maki jika warga dari kelompok ini ikut dalam pemilihan pejabat publik.
Agar semangat gotong royong dalam Pancasila itu tetap terjaga ia harus dipertahankan dengan aktif. Sudah saat mayoritas yang diam masuk ke ruang publik untuk menjadi Bung Hatta yang baru yang menjawab tantangan kekininian sama seperti halnya Bung Hatta yang juga telah menunaikan tanggung jawab sejarahnya. I Made Anom Wiranata, SIP, MA Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP UNUD
Siapa yang mengusulkan perubahan pada Piagam Jakarta?
Tokoh yang mengusulkan perubahan sila I dasar nega. Tokoh yang mengusulkan perubahan sila I dasar negara yang tercantum dalam Piagam Jakarta adalah Mohammad Hatta. Untuk lebih jelasnya, yuk simak penjelasan berikut: Hasil dari rumusan dasar negara yang telah dirumuskan oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI tercantum dalam Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.
Dalam Piagam Jakarta itu terdapat rumusan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan ini pada tanggal 18 Agustus 1945 berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Kesepakatan tersebut terjadi setelah adanya lobi dari Wakil Presiden Moh.
Hatta kepada kelompok Islam yang digawangi Ki Bagus Hadikusumo karena ada utusan kelompok dari tokoh di Indonesia timur yang “mengancam” akan memisahkan diri dari Indonesia bila rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta tetap menggunakan frasa “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
- Pada lobi yang berlangsung di sore hari pada 17 Agustus 1945, sempat terjadi kekhawatiran bila usaha itu akan mengalami kegagalan.
- Namun Hatta tidak putus asa.
- Akhirnya Hatta memilih Kasman Singodimedjo untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo.
- Penunjukan kepada Kasman dianggap paling tepat karena dia juga merupakan teman dekat dari Ki Bagus Hadikusumo.
: Tokoh yang mengusulkan perubahan sila I dasar nega.
Mengapa para tokoh dari Indonesia bagian timur merasa keberatan dengan salah satu kalimat yang ada dalam naskah Piagam Jakarta?
mengapa tokoh tokoh indonesia timur merasa keberatan dengan bunyi sila pertama pancasila pada Karena pada sila pertama dalam piagam jakarta tersebut berarti hanya ditujukan untuk umat islam saja, sedangkan rakyat Indonesia tidak hanya umat islam saja. Karna mereka bukan agama islam mungkin : mengapa tokoh tokoh indonesia timur merasa keberatan dengan bunyi sila pertama pancasila pada